Sabtu, 15 September 2012

GERAKAN PEMUDA MASA LALU DAN KINI



Negara Indonesia dibangun melalui peradaban yang sangat panjang dari zaman kerajaan hingga zaman modern. Keluarnya Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Tentang Otonomi Daerah, telah memberikan warna dalam perkembangan kepemimpinan di Indonesia, termasuk Sumatera Barat. Golongan pemimpin yang identik dengan golongan tua, di mana para pemuda kurang diberikan kesempatan untuk dapat memimpin. Namun, patut untuk disadari bahwa batasan usia tidaklah menjamin kematangan seseorang untuk lebih maju. Pada dasarnya, pemimpin yang baik adalah seseorang yang dapat mengemban amanah perjuangan Bangsa Indonesia yang telah diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
  Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan menjelaskan bahwa yang dimaksud pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Beragam cara ditunjukkan guna membangkitkan semangat kaum muda Indonesia, cara-cara tersebut misalnya disebarkan atau dikampanyekan lewat media, iklan misalnya. Salah satu bukti, entah di sadari atau tidak adalah dengan adanya tayangan iklan yang menyatakan “belum tua belum boleh bicara”. Ini adalah suatu bukti teguran untuk para pemuda di Indonesia, sadar atau tidak dengan tayangan tersebut sebetulnya telah memberikan semangat kepada para pemuda untuk angkat bicara atau siap menjadi pemimpin dengan bekal ilmu pengetahuan dan kemampuan intelektualitas dengan tidak melihat kedudukan dan jabatan orang tuanya. Apalagi  banyak dari mereka yang menyandang gelar sarjana (akademik).
Apabila melihat perjuangan Bangsa Indonesia atau yang dikenal sebagai masa kejayaan nusantara, justru yang membawa nusantara berjaya kala itu adalah sosok pemimpin dari seorang pemuda yang mempunyai kemauan keras untuk memajukan nusantara. Hingga akhirnya bisa membawa nusantara berada dalam puncak kejayaan.
Kata pemuda memiliki beberapa defenisi. Baik ditinjau dari fisik maupun phisikis akan siapa yang pantas disebut pemuda serta pertanyaan yang muncul apakah pemuda itu identik dengan semangat atau usia. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan makna hari Sumpah Pemuda.
Sedangkan mengenai pemuda, secara harfiah, kamus Websters, Princeton mengartikan bahwa youth yang diterjemahkan sebagai pemuda memiliki definisi: (1) a young person, (2) the time of life between childhood and maturity, (3) early maturity. Sementara itu, International Youth Year yang diselenggarakan tahun 1985, mendefinisikan penduduk berusia 15-24 tahun sebagai kelompok pemuda.Sedangkan dalam kerangka usia, WHO menggolongkan usia 10 – 24 tahun sebagai young people, sedangkan remaja atau adolescence dalam golongan usia 10 -19 tahun. Sementara menurut KBBI, pemuda diartikan sebagai orang muda laki-laki, remaja, teruna.Selain itu, al-qur’an juga memberikan defenisi berbeda tentang pemuda. Dalam kaidah bahasa Qurani pemuda atau yang disebut “asy-syabab” didefinisikan dalam ungkapan sifat dan sikap seperti:
1.      berani merombak dan bertindak revolusioner terhadap tatanan sistem yang rusak. Seperti kisah pemuda (Nabi) Ibrahim.
2.      memiliki standar moralitas (iman), berwawasan, bersatu, optimis dan teguh dalam pendirian serta konsisten dalam dengan perkataan. Seperti tergambar pada kisah Ash-habul Kahfi (para pemuda penghuni gua3. seorang yang tidak berputus-asa, pantang mundur sebelum cita-citanya tercapai. Seperti digambarkan pada pribadi pemuda (Nabi) Musa.
Jadi, dengan demikian dapat disumpulkan bahwa pemuda adalah sosok individu yang berusia produktif dan mempunyai karakter khas yang spesifik yaitu revolusioner, optimis, berpikiran maju, memiliki moralitas, dan sifat lainnya yang disadari dan dilkakukan dengan semangat muda. Kelemahan mecolok dari seorang pemuda adalah kontrol diri dalam artian mudah emosional, sedangkan kelebihan pemuda yang paling menonjol adalah mau menghadapi perubahan, baik berupa perubahan sosial maupun kultural dengan menjadi pelopor perubahan itu sendiri.
Sejarah diartikan dengan kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau, riwayat, tambo. Sejarah mengajarkan hal-hal yang sangat penting, terutama mengenai keberhasilan dan kegagalan dari seseorang atau suatu bangsa, sistem perekonomian yang pernah ada, bentuk-bentuk pemerintahan, dan hal-hal penting lainnya dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah. Salah satu kutipan yang paling terkenal mengenai sejarah dan pentingnya belajar mengenai sejarah ditulis oleh seorang filsuf dari Spanyol, George Santayana. Katanya: “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya”.
1.                  Sejarah Kepemudaan Indonesia dan Organisasinya
Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, diperingati tanggal 28 Oktober setiap tahunnya. Namun momen penting ini tidaklah berdiri sendiri, Sumpah Pemuda lahir sebagai hasil dari serangkaian perjuangan-perjuangan Bangsa Indonesia sejak ribuan tahun silam dalam usaha membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
Seperti kita ketahui bersama, sebelum tahun 1928, perjuangan telah dimulai sejak abad ke-17, dimana waktu itu perlawanan-perlawanan secara fisik dari berbagai daerah muncul akibat kekejaman dan penindasan kaum penjajah. Tak heran, perlawanan datang dari berbagai daerah di nusantara ini. Mulai dari Mataram di tahun 1628 dan 1629, kemudian perlawanan dari daerah Sulawesi, Ambon, demikian pula di Sumatera. Perlawanan lainnya pun muncul dengan tujuan yang sama mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Akan tetapi sangat disayangkan, perjuangan tersebut tidak membawa hasil yang diharapkan karena politik penjajahan Belanda waktu itu mampu menaklukkan semua perlawanan. Belanda mampu menaklukkan hampir seluruh wilayah nusantara sehingga bangsa ini semakin mengalami penderitaan panjang.[9]
Menyadari hal itu, semangat dan jiwa patriotisme yang dimiliki para pemuda Indonesia menjadi bekal bagi mereka untuk melakukan perlawanan dalam bentuk lain. Perlawanan dari pemuda Indonesia bukan hanya dalam arti fisik, melainkan melalui organisasi pemuda. Pertama, lahirlah Budi Oetomo yang didirikan pada 20 Mei 1908. Momen ini kemudian dijadikan sebagai tonggak sejarah kebangkitan pemuda Indonesia dalam pergerakan kebangsaan Indonesia, yang kemudian diakui sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Tahun 1911 muncul Sarekat Islam yang didirikan oleh HOS Tjokroaminoto. Setahun kemudian namanya diubah menjadi Sarekat Dagang Islam. Selain itu di tahun yang sama, berdiri pula Indische Partai yang dipimpin oleh tiga serangkai yaitu Danudirdja Setia Budi, Ki Hajar Dewantara dan Tjipto Mangunkusumo. Tujuan politiknya sangat jelas yaitu untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Ketiga tokoh ini kemudian dibuang karena dianggap membahayakan kelangsungan Pemerintah Hindia Belanda melalui tulisan-tulisannya yang tajam di surat kabar. Demikian pula gerakan dan aksi-aksi yang mereka lakukan.[10]
Organisasi-organisasi lain-pun kemudian bermunculan, namun belum memberikan harapan yang menggembirakan. Mereka tetap tak mampu menghadapi dan memberikan perlawanan berarti disebabkan perjuangan yang mereka lakukan masih sendiri-sendiri.
Setelah menyadari kondisi seperti itu, keadaan pun berubah. Para pemuda kemudian menyatukan diri dan mengusung rasa kebangsaan yang selama ini belum tersentuh. Hal ini yang kemudian melahirkan Kongres Pemuda Indonesia I pada tahun 1926. Kala itu cita-cita persatuan menjadi tujuan utama para pemuda.
Rasa kebangsaan dan persatuan itu mencapai puncaknya dengan kemunculan pemuda bernama Soekarno, anggota Jong Java. Ia terus mengobarkan rasa persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai landasan untuk mencapai kemerdekaan. Pemuda yang kemudian terkenal dengan julukan Bung Karna ini mendasarkan perjuangan mencapai kemerdekaan pada kekuatan sendiri, anti kapitalisme dan imperialisme serta non-cooperation atau tak bersedia bekerja sama dengan Hindia Belanda.
Atas prakarsa Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia, maka diadakan Kongres Pemuda Indonesia II di Jakarta pada tanggal 27 – 28 Oktober 1928. Kongres dihadiri oleh berbagai perhimpunan pemuda yang ada di Indonesia. Dalam sidang ketiga, 28 Oktober 1928 itulah kemudian dicetuskan Sumpah Pemuda yang sangat terkenal hingga sekarang. Dalam kongres kedua ini juga untuk pertama kalinya Lagu Kebangsaan Indonesia ciptaan WR. Supratman dilantunkan. Lagu tersebut dilantunkan di hadapan pemuda peserta kongres dengan iringan biola Wage Rudolf Supratman. Sumpah Pemuda sebagai tonggak sejarah perjuangan yang bersifat nasional, meliputi seluruh wilayah nusantara mencapai cita-cita bersama.[11]
Kata-kata keramat yang dicetuskan dalam Kongres II Pemuda Indonesia tersebut terus mengakar dalam diri setiap anak bangsa. Perjuangan terus berlanjut, perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda pun tak berhenti hingga mencapai puncak dengan diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
  B. Pemuda dari Masa ke Masa
1. Meneropong Pemuda Masa Lalu
Boedi Oetomo sebagai organisasi yang lahir pada tahun 1908 mengawali kebangkitan Bangsa Indonesia (Kebangkitan Nasional). Mereka hadir sebagai pemuda-pemudi yang siap berada digarda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Delapan puluh tiga tahun silam, pemuda-pemudi Indonesia, putra-putri terbaik bangsa saat itu telah menghasilkan tiga sumpah (janji) penting yang sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia kearah yang lebih baik yaitu meraih kemerdekaan.[12] Sumpah tersebut dihasilkan dalam peristiwa Kongres Pemuda ke-2, di Jakarta, tepatnya di Jalan Kramat Raya no.106, yang sekarang telah menjadi Museum Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928. Adapun bunyi Sumpah Pemuda tersebut adalah sebagai berikut:
Kami putra dan putri Indonesia mengaku, bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia mengaku, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia
Ketiga butir sumpah tersebut merupakan hasil kesepakatan dan keputusan Kongres Pemuda ke-2, yang masih dalam suasana kolonialisme Hindia Belanda. Namun dengan tekad dan semangat tinggi, mereka berkumpul dan bersatu dalam rangka perubahan nasib bangsa Indonesia, sekalipun mereka berasal dari berbagai pelosok wilayah Indonesia yang satu sama lainnya terpisah dengan jarak yang sangat jauh, lebih lagi dengan sulitnya transportasi kala itu
Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan, oleh karena itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia, proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.
Sesuai namanya, Sumpah Pemuda dirumuskan oleh para pemuda. Mereka kemudian menjadikannya sebagai dasar untuk membangkitkan rasa nasionalisme. Para pemuda tidak lagi berjuang sendiri, melainkan bersama-sama. Perlu kita ketahui, Sumpah Pemuda tidak lahir begitu saja. Banyak hal yang melandasi para pemuda bertekad untuk bersatu. Mereka berpikir tidak akan bisa membuat Indonesia merdeka jika berjuang di kelompok sendiri.
Kegagalan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia membuat mereka sadar bahwa rasa nasionalisme harus dipadukan. Karena itu, diadakanlah Kongres Pemuda I dan II. Mereka menjadi satu, menjadi “Pemuda Indonesia”. Semangat persatuan para pemuda dulu harus diikuti pemuda masa kini. Yaitu, dengan mengisi kemerdekaan. Istilah pemuda atau generasi muda umumnya dipakai sebagai konsep untuk memberi generalisasi golongan masyarakat yang berada pada usia paling dinamis, yang membedakan dari kelompok umur anak-anak dan golongan tua. Sementara secara kultural, pemuda adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan.
Sejarah kemerdekaan Indonesia telah membuktikannya, perjuangan pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan adalah berkat perjuangan kaum muda pada saat itu. Kilas balik sejarah, penulis sedikit mengutip percakapan antara Soekarno-Hatta dan pemuda Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada masa itu yang juga menimbulkan pro dan kontra antara organisasai pemuda yang diketuai oleh Chaerul Saleh dan kelompok tua diketuai oleh Bung Karno. Tanggal 15 Agustus 1945 dengan kepala panas kelompok muda menentang Soekarno dan mendesak agar segera memproklamasikan kemerdekaan indoesia, namun kelompok tua menolak karena beranggapan bahwa jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Negara Indonesia, ”Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata pemuda Chaerul Saleh demi meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ”Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ”Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan;  ”Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”
Soekarno langsung ikut naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ”Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda terus mendesak, ”Apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyata­kan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa?”.
Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata, “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “.
Bila menghayati lebih dalam kutipan percakapan di atas, harus diakui bahwa salah satu pionir yang paling berperan dalam tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara adalah pemuda. Pemuda merupakan sekelompok orang yang masih terbilang muda serta memiliki potensi yang beragam. Keberadaannya, tentunya sangat diharapkan lahirnya potensi-potensi yang berguna bagi bangsa dan negara. Generasi yang bisa dikatakan sebagai kelompok yang paling memiliki semangat tinggi, semangat menyala-nyala yang terkadang meluap-luap.
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1966 memang berhasil digagalkan angkatan bersenjata, namun tanpa peran pemuda dan ormas lainnya keberhasilan ini tentu tidak akan berjalan lancar. Tahun inilah awal berdirinya pemerintahan orde baru dibawah kekuasaan Soeharto. Pemerintahan Soeharto memang menunjukkan perkembangan bagi bangsa Indonesia. Kemakmuran rakyat meningkat, kesejahteraan mulai tampak. Namun kekuasan Soeharto ternyata lebih mengedepankan asas kekeluargaan, pemerintahan orde baru-pun disebut-sebut sebagai pemerintahan rapuh dan kropos akhirnya jatuh disaat krisis moneter melanda Indonesia.
Pemuda kembali unjuk gigi, 32 tahun rezim orde baru berkuasa berhasil diakhiri. Bersatunya pemuda dan mahasiswa meminta Soeharto mundur terwujud, dan masa otoriter berakhir kemudian beralih ke masa reformasi. Tahun 1998, awal mula berjalannya era reformasi. Era ini dianggap sebagai zaman kebebasan bagi rakyat.
 2. Pemuda Indonesia Hari Ini
Betapa pentingnya peran pemuda dalam bagi suatu bangsa. Sebab itulah, pemuda pada dasarnya harus ada dan mutlak adanya. Sebab pemuda sebenarnya merupakan sosok yang paling memiliki power untuk mengarungi sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara ke depan. Pemuda jualah yang menjadi harapan untuk mengkritik setiap-setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan memberikan solusi yang cerdas untuk mengatasi permasalahan. Pemuda dapat dikatakan sebagai generasi pelanjut dan pelurus.
Namun ini, dimana semangat para pemuda itu? Para pemuda sekarang mayoritas hanya diam, peduli pada nasib masing-masing. Jiwa nasionalis dan sosial seakan memudar. Kalaupun ada yang peduli pada nasib bangsa ini, jumlahnya tidak lebih besar dari yang apatis.
Rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan harus tetap dijaga dengan jiwa dan semangat Sumpah Pemuda. Jangan sampai kerja keras para pemuda pada masa perjuangan dahulu terbuang percuma dengan kondisi Bangsa Indonesia di masa sekarang. Sumpah Pemuda yang disebut-sebut menjadi adalah salah satu tonggak sejarah yang penting bagi bangsa Indonesia. Seperti kita telah ketahui, ada tiga butir penting Sumpah Pemuda, yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu. Tiga hal ini merupakan faktor penting bagi negara kita. Bagaimana semangat pemuda dulu? Bagaimana pula kenyataan pemuda pada masa kini?
Tetapi kini, terkadang kita dibuat sedih dengan kenyataan para pemuda Indonesia saat ini. Semangat mengisi kemerdekaan mereka sangat kecil, bahkan kadang malah merusak. Hanya karena sedikit salah paham, para pemuda sekarang bisa tawuran. Tawuran antar pemuda tidak mengenal lokasi dan tingkat kedewasaan. Pemuda desa yang satu rusuh dengan pemuda kampung yang lain. Ada juga tawuran antar sekolah dan antar universitas. Bahkan siswa Sekolah Dasar (SD) mulai menirukan para kakak-kakak mereka tersebut. Mereka menghancurkan semangat Sumpah Pemuda.
Masalah beberapa pemuda masa kini, bukan hanya emosi yang tak terkendali. Mereka juga bermental egois dan asyik dengan diri sendiri tanpa peduli dengan lingkungan. Mereka menjerumuskan diri ke dalam narkoba, hura-hura, pesta-pora, hingga seks bebas.
Penulis menyimpulkan, pemuda saat ini terlalu terlena dengan kemudahan-kemudahan yang ada. Untungnya, tidak semua pemuda zaman sekarang seperti mereka, yang menghancurkan diri dan bangsanya. Masih banyak generasi penerus bangsa yang masih peduli dengan lingkungan dan menjunjung tinggi semangat Sumpah Pemuda. Ada beberapa indikasi sebagai penyebab masalah dikalangan pemuda hari ini:[13]
1.      Masih relatif rendahnya tingkat pendidikan pemuda;
2.      Masih relatif tingginya tingkat pengangguran pemuda;
3.      Masih relatif rentan terhadap perilaku menyimpang di kalangan pemuda (narkoba, sex bebas, pornoaksi, pornografi, dll);
4.      Adanya kecenderungan aktivitas pemuda lebih banyak di kota dari pada di desa;
5.      Adanya kecenderungan munculnya perilaku kekerasan di sebagian kalangan pemuda;
6.      Adanya kecenderungan sikap acuh tak acuh terhadap masalah moral dan akhlaq mulia di sebagian kalangan pemuda;
7.      Adanya kecenderungan meredupnya nasionalisme di sebagian kalangan pemuda;
8.      Masih terbatasnya prasarana dan sarana pembangunan kepemudaan;
9.      Belum maksimalnya koordinasi 21 Kementerian dan Lembaga yang mempunyai program kepemudaan.
Namun disisi lain, tidak semua pemuda seperti itu. Masih ada pemuda Indonesia masa kini yang berprestasi di bidang pendidikan, olahraga, teknologi, perdamaian, seni, dan lain-lain. Sebut saja Taufik Hidayat atlet bulutangkis Indonesia yang telah menorehkan sejarah di tingkat dunia.
Jadi menurut hemat penulis, kenyataan pemuda saat ini adalah ada yang melupakan semangat Sumpah Pemuda. Ada pula yang tetap memegang teguh. Yang tetap setia kita dukung dan mencontohnya. Sementara yang lupa, kita ingatkan agar kembali ke semangat para pemuda dulu.
Jika pada masa dulu, kaum penjajah yang memecah belah bangsa Indonesia, bukan tidak mungkin persatuan dan kesatuan yang selama ini kita bina akan terkoyak oleh ulah bangsa sendiri. Bahasa Indonesia yang selama ini diakui sebagai bahasa persatuan rusak justru oleh perilaku bangsa sendiri. Kontras, dengan kondisi dan perjuangan pemuda zaman dulu yang demi persatuan dan kesatuan bangsa, mereka berani mengorbankan waktu, tenaga, biaya dan fikiran, bahkan jiwa sekalipun.
Akhirnya, mari teruslah kita jaga nasionalisme dalam hati kita, dan kita selalu pupuk, agar menghasilkan karya nyata, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan bangsa yang kita cintai ini, yaitu bangsa Indonesia. Selamat Hari Sumpah Pemuda, maju terus pemuda Indonesia, raihlah kejayaan bangsa dan negara.
 Pemuda dan Pergerakannya
Pemuda Indonesia dengan gerakan kepemudaan merupakan martir untuk memperjuangkan hak dan cita-cita bangsa. Di tangan kaum mudalah harapan bangsa dapat terwujud. Bila berkaca pada sejarah, gerakan pemuda Indonesia ditandai oleh lahirnya organisasi modern yang disebut Boedi Oetomo pada tahun 1908. Kemudian diikrarkannya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 sebagai kesepakatan untuk menyatukan unsur-unsur heterogen pemuda menjadi bangsa yang satu.[14]
Atas desakan para pemuda, akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Moment ini bertepatan dengan kekalahan Jepang (yang saat itu menjajah Indonesia) pada perang Dunia II. Tidak hanya sampai disitu, gerakan pemuda berlanjut pada tahun 1966. Kita semua tahu ditahun tersebut dikenal dengan masa revolusi, kaum muda terlibat secara langsung dan menolak ideologi komunis. Kemudian pada tahun 1974 terjadi gerakan pemuda sebagai reaksi dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang tidak transparan. Puncak gerakan pemuda dari berbagai unsur terjadi pada tahun 1998. Pemuda Indonesia menolak dengan tegas system pemerintahan otoriter dan menorehkan sejarah dengan menggulingkan rezim orde baru menjadi era reformasi.
Semua itu merupakan pengukuhan penting terhadap peran kaum muda dalam memperjuangkan idealism bangsa. Sejak era sebelum kemerdekaan, kaum muda selalu terdorong untuk melakukan penolakan terhadap ketidakadilan. Pada masa itu mereka diasah melalui kelompok diskusi atau organisasi kepemudaan dengan struktur dan mekanisme yang masih sangat sederhana.
Tapi sayang, setelah era reformasi pemuda terkesan ideologis, pragmatis bahkan materialistis. Aksi dan gerakannya kurang focus, tidak memiliki visi bersama, dan bahkan terkotak-kotak. Disebabkan tidak adanya arah yang jelas ataupun kepedulian terhadap nasib bangsa. Oleh sebab itu diperlukan pengenalan kembali fungsi dan peran pemuda dalam membangun bangsa, yang sebelumnya tidak pernah absen menorehkan tinta emas. Perjuangan pemuda pun bergulir sesuai konteks dan zamannya. Di masa lalu pemuda lebih mengedapankan semangat bela negara untuk lepas dari tangan penjajah. Namun seiring perjalanan waktu, perkembangan zaman, dan tuntutan hidup semangat tersebut berubah. Hal ini jelas terlihat melalui banyaknya pemuda yang memiliki sikap pragmatis dan apolitis. Memang tidak semua pemuda Indonesia memiliki jiwa yang lemah namun melihat keadaan saat ini, dikhawatirkan semangat 1928 hilang dari diri para pemuda Indonesia. Hal ini akan berakibat pada hilangnya jiwa nasionalisme yang berarti hilangnya kecintaan kepada bangsa dan negara.
Refleksi Diri Pemuda
Refleksi berarti gerakan, pantulan diluar kemauan (kesadaran) sebagai jawaban suatu hal atau kegiatan yang datang dari luar.[15] Pemuda yang merupakan suatu generasi yang dipundaknya terbebani berbagai macam-macam harapan, terutama dari generasi lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena pemuda diharapkan sebagai generasi penerus, generasi yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang mengisi dan melanjutkan estafet pembangunan.
Merefleksikan kembali peristiwa sumpah pemuda yang terjadi 83 tahun silam adalah bagian dari upaya menatap masa depan. Semangat kesatuan senasib sepenanggungan dan rasa memiliki tanah air menjadi alasan mengapa tercetusnya momentum sumpah pemuda. Kemudian nasionalisme adalah bekal para golongan muda masa itu untuk berhimpun dan bersatu dalam peristiwa heroik 28 Oktober 1928.
Peran penting dari seorang pemuda adalah pada kemampuannya melakukan perubahan. Perubahan menjadi indikator suatu keberhasilan terhadap sebuah gerakan pemuda. Perubahan menjadi sebuah kata yang memiliki daya magis yang sangat kuat sehingga membuat gentar orang yang mendengarnya, terutama mereka yang telah merasakan kenikmatan dalam iklim status quo. Kekuatannya begitu besar hingga dapat menggerakkan kinerja seseorang menjadi lebih produktif. Keinginan akan suatu perubahan melahir sosok pribadi yang berjiwa optimis. Optimis bahwa hari depan pasti lebih baik.[16]
Lantas apa yang harus dilakukan pemuda sekarang untuk membuktikan masih tersimpan adanya semangat Sumpah Pemuda? Cukupkah hanya dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda pada ritual peringatan Sumpah Pemuda? Atau perlu mengadakan Ikrar Sumpah Pemuda versi ketiga? Jawaban yang pasti ada dalam diri masing-masing pemuda. Apa yang dapat diberikan pada negara tercinta ini tentu berbeda dengan masa 1928-an. Bila pada masa itu para pemuda mempertaruhkan nyawa dan raga untuk meraih kemerdekaan sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan, kita tidak perlu lagi melakukannya.
Wajar mengapa golongan muda selalu dielu-elukan sebagai ahli waris estafet perjalanan bangsa di masa yang akan datang. Sebab, generasi muda adalah yang golongan yang mampu berdiri atas idealismenya dan berjuang menurut sisi-sisi keidealan.
Saat ini yang dapat diberikan kepada bangsa adalah prestasi-prestasi membanggakan untuk semua rakyat Indonesia. Misalnya ikut berpartisipasi dalam perlombaan dalam kancah-kancah internasional seperti Olimpiade. Sebagai pemuda Indonesia kita harus bangga hidup di Indonesia dan harus tetap mempertahankan jiwa-jiwa nasionalisme dan cinta tanah air. Siapa lagi yang akan meneruskan perjuangan para pahlawan bangsa kalau bukan kita sebagai pemuda Indonesia?
 Solusi dan Tantangan Pemuda Saat ini
Saat ini peran pemuda mendapat tantangan dari berbagai macam bentuk, pemuda saat ini di tantang dengan kondisi zaman yang semakin bebas dan tidak terkendali. Sehingga pengaruh lingkungan mampu mengarahkan pemuda ke arah yang tidak produktif. Globalisasi yang semakin bebas saat ini membuat para pemuda terbuai untuk menikmatinya kedalam aktivitas yang membuang-buang waktu. Contoh seperti bergaya seperti budaya barat, gemar bermain di club malam dan discotik, serta aktivitas lainnya. Selain itu, saat ini pemuda kebanyakan memiliki kemauan yang rendah untuk mendidik diri serta mengggali potensi diri yang ada. Pemuda juga belum memiliki sebuah visi dan kemauan yang kuat untuk berbuat kepada masyarakat dan bangsa. Banyak pemuda yang diberikan kesempatan untuk duduk di perguruan tinggi, tapi menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermafaat. Perguruan tinggi terkadang dimanfaatkan hanya untuk mendapat gelar sarjana.
Mengahadapi situasi dan kondisi yang melemahkan pergerakan pemuda saat ini, harus ada upaya dari para pemuda demi membuktika masih tersimpan adanya semangat Sumpah Pemuda. Tidaklah cukup hanya dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda pada ritual peringatan Sumpah Pemuda saja, atau perlu mengadakan Ikrar Sumpah Pemuda versi-versi selanjutnya. Jawaban yang pasti itu ada dalam diri masing-masing pemuda. Apa yang dapat diberikan pada Indonesia, memang tidak sama dan tentu berbeda dengan masa 1928-an. Bila pada masa itu para pemuda mempertaruhkan nyawa dan raga untuk meraih kemerdekaan sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan, maka kita tidak perlu lagi melakukannya.
Saat ini yang dapat diberikan kepada bangsa adalah prestasi-prestasi membanggakan untuk semua rakyat Indonesia. Misalnya ikut berpartisipasi dalam perlombaan dalam kancah-kancah internasional seperti Olimpiade. Sebagai pemuda Indonesia kita harus bangga hidup di Indonesia dan harus tetap mempertahankan jiwa-jiwa nasionalisme dan cinta tanah air.
Beberapa kalangan menganggap pemuda saat ini bermental pragmatis. Ada pula yang menyebut makin terkikisnya spirit nasionalisme, anak muda cenderung cuek, apatis dan senang mencari jalan pintas (instan). Mereka saat ini dianggap lemah, kurang gigih dan kehilangan identitas diri. Belum lagi jika harus dirunut masalah lain seperti kasus tawuran, konflik,  pergaulan bebas, pengguna narkoba, lemahnya daya saing hingga angka pengangguran yang cukup besar.[17]
Menurut penulis, kritikan diatas memang wajar, mengingat fakta yang ada saat ini. Kritikan itu itu diperlukan agar menjadi pemacu bagi kaum muda saat ini untuk bangkit. Berkaca pada sejarah, bandingkan dengan torehan tinta emas generasi tempo dulu. Dimana pemuda Indonesia berikrar dalam sebuah sumpah yang begitu mempesona.
Lantas pertanyaannya, dimana pemuda hari ini, disaat bangsa menghadapi kepungan masalah. Sebenarnya ada poin progresif dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan. Dalam konteks UU diatas, terdapat 3 isu strategis yang dapat dipahami dalam pembangunan pemuda yaitu program penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan pemuda. Penyadaran pemuda adalah kegiatan yang diarahkan untuk memahami dan menyikapi perkembangan dan perubahan lingkungan. Pemberdayaan pemuda adalah kegiatan membangkitkan potensi dan peran aktif pemuda. Sedangkan pengembangan pemuda diprioritas melalui pengembangan kepemimpinan, kewirausahaan dan kepeloporan.
Memasuki abad dua puluh satu, kenyataan yang berkembang ditengah masyarakat, terjadinya lonjakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pesat. Hal itu ditandai dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi. Suatu gejala yang disebut dengan arus globalisasi. Era globalisasi disadari mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan suatu bangsa, termasuk kemajuan pendidikan dikalangan pemuda. Tidak semua perkembangan itu memberikan hasil positif, namun juga berdampak negatif. Karena globalisasi juga membawa perubahan perilaku, terutama pada generasi muda (para remaja). Dunia remaja disibukkan dengan hal yang tidak menggembirakan.
Menyikapi polemik yang terjadi ditengah-tengah pemuda hari ini, ada beberapa hal yang perlu ditelaah dan dilakukan demi mengarahkan pemuda kepada pencapaian prestasi, dengan membentuk generasi masa depan. Generasi muda akan menjadi aktor utama dalam pentas dunia. Karena itu, generasi muda (remaja) harus dibina dengan budaya yang kuat berintikan nilai-nilai dinamik yang relevan dengan realiti kemajuan di era globalisasi.[18]
Perkembangan bangsa ke depan banyak ditentukan oleh peranan remaja/pemuda sebagai generasi penerus dan pewaris. Kita memerlukan generasi yang handal, dengan beberapa sikap:[19]
1.      daya kreatif dan inno­vatif, dipadukan dengan kerja sama berdisiplin,
2.      kritis dan dinamis, memiliki vitalitas tinggi,
3.      tidak mudah terbawa arus, sanggup menghadapi realita baru di era kesejagatan.
4.      memahami nilai‑nilai budaya luhur,
5.      siap bersaing dalam knowledge based society,
6.      punya jati diri yang jelas, hakekatnya adalah generasi yang menjaga destiny,
7.      individu yang berakhlak berpegang pada nilai-nilai mulia iman dan taqwa,
8.      motivasi yang bergantung kepada Allah, yang patuh dan taat beragama akan berkembang secara pasti menjadi agen perubahan,
9.      memahami dan mengamalkan nilai‑nilai ajaran Islam sebagai kekuatan spritual, yang memberikan motivasi emansipatoris dalam mewujudkan sebuah kemajuan fisik‑material, tanpa harus mengorbankan nilai‑nilai kemanusiaan.
Pemuda harus sadar bahwa masa depan bangsa dan kepemimpinan negara berada di tangannya. Karena asas Kepemimpinan adalah kesadaran dan kemauan. Sikap dan ciri pemimpin yang baik adalah:[20]
1.      Berilmu, berakhlak, berintegritas, professional, dan pandai
2.      Dapat membuat keputusan dan bertangguing jawab atas keputusannya.
3.      Dapat mempengaruhi bukan dipengaruhi dan mampu menjadi contoh
4.      Bersedia mendengar masukan dan kritik
5.      Bisa memberi semangat dan motivasi

Selain itu, pembentukan karekter pemuda juga akan member dampak positif dalam perkembaganannya, dalam bentuk:
1.      Masa depan sebuah bangsa ditentukan karakter pemuda. Sangat jelas dalam ingatan dan sangat dalam tertanam dalam jiwa bahwa pemuda harapan bangsa. Karena ungkapan itu disampaikan berulang ulang dari dulu sampai sekarang. Apalagi kesadaran itu juga diperkuat dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa momentum momentum penting pergerakan sejarah bangsa tidak lepas dari peran pemuda yang sangat signifikan, mulai dari kebangkitan nasional, proklamasi kemerdekaan, orde baru, sampai orde reformasi..
2.      Beberapa fakta menunjukkan bahwa kemajuan suatu bangsa tidak selalu ditentukan usia bangsa, sumber daya alamnya, atau rasnya. Kita tentu bisa melihat Australia yang usianya jauh lebih muda dari Yunani, tetapi soal kemajuan bangsa jelas Australia jauh lebih unggul.
3.      Kita juga bisa melihat Indonesia, negeri kita tercinta, yang jauh lebih kaya sumber daya alamnya daripada jepang, tetapi bicara tentang kemajuan, kita jelas ketinggalan.
4.      Bukti tentang ras ditunjukkan dengan sangat jelas, dengan mulai melesatnya bangsa bangsa asia, seperti India dan cina yang telah melampaui kemajuan negara negara sebagian eropa. Tentu saja kemajuan bangsa dalam hal ini ditandai dengan kemajuan ekonomi, teknologi, pendidikan dan kesehatan.
Pendidikan khususnya olah raga memiliki peluang yang sangat memungkinkan untuk membantuk karakter generasi bangsa. Selain membentuk dan membina sisi jasmaniah, olah raga merupakan media efektif untuk membina karakter. Menurut teori Piaget, aktivitas jasmani sendiri termasuk gerak di dalamnya merupakan akar dari pertumbuhan proses dan struktur psikologis. Satu-satunya kondisi yang menyebabkan kejahatan dan hal-hal buruk merajalela adalah ketika orang baik-baik tidak melakukan apa-apa.[22]
Jadi, penulis menyimpulkan bahwa semestinya kaum muda harus berani bersikap merombak watak budaya politik yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Pemuda juga harus memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Selanjutnya pemuda juga harus membantu dan mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan. Upaya generasi muda juga dilandasi dengan ilmu pengetahuan dan sikap atau kepribadian yang baik dan diiringi peran serta dukungan pemerintah.
Peran Pemuda Sumatera Barat dalam Pembangunan Daerah
Disaat kondisi bangsa seperti saat ini peranan generasi muda sebagai pilar penggerak, pengawal jalannya reformasi, dan pembangunan sangat diharapkan. Dengan organisasi dan jaringannya yang luas, pemuda dapat memainkan peran yang lebih besar untuk mengawal jalannya reformasi dan pembangunan. Permasalahan yang dihadapi saat ini, justru banyak generasi muda atau pemuda yang mengalami disorientasi, dislokasi, dan terlibat pada kepentingan politik praktis. Seharusnya melalui generasi muda terlahir inspirasi untuk mengatasi berbagai kondisi dan permasalahan yang yang ada. Generasi muda yang mendominasi populasi penduduk Indonesia saat ini, mesti mengambil peran sentral dalam berbagai bidang untuk membangun bangsa dan Negara.
Masyarakat membutuhkan peran serta pemuda untuk kemajuan bersama. Pemuda adalah tulang punggung masyarakat. Generasi tua memilki keterbatasan untuk memajukan bangsa. Generasi muda harus mengambil peranan yang menentukan dalam hal ini. Dengan semangat menyala-nyala dan tekad yang membaja serta visi dan kemauan untuk menerima perubahan yang dinamis pemuda menjadi motor bagi pembangunan masyarakat.
Keluarnya Undang-undang no 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, menunjukkan bahwa ini merupakan salah satu UU sebagai rangkaian dari kebijakan pelaksanaan Otonomi Daerah, dan sebagainya. Jika otonomi dijalankan maka banyak segi positif yang didapat di antaranya masyarakat bisa-bisa menentukan menentukan kebijakan sendiri untuk pengelolaan wilayahnya, sesuai dengan kebutuhan, sesuai dengan identitas dan ciri khas wilayahnya, aspirasi masyarakat lebih terserap dan mudah untuk diikuti sertakan secara langsung. Namun ada banyak tuntutan yang harus dipenuhi untuk pelaksanaan prinsip otonomi daerah ini. Antara lain pemahaman masyarakat tentang otonomi itu sendiri, pilihan secara sadar dari masyarakat akan posisi mereka dan peran mereka dalam pembangunan, sumber daya manusia sebagai pelaksana dan sumber dana untuk biaya pelaksanaan pembangunan masyarakat.
Bagi masyarakat kata kunci dari otonomi daerah adalah ‘partisipasi’ dan lebih jelas lagi partisipasi ini adalah partisipasi dalam tataran ide atau prakarsa selanjutnya baru pada tahap pelaksanaan dan pengawasan. Salah satu pilar kekuatan bangsa dalam melanjutkan cita-cita dan arah implementasi pembangunan, adalah ikutsertanya peran pemuda dalam mengisi pembangunan tersebut. Namun peran serta itu tidak akan berarti apabila mental pemuda terpampang citra buruk. Diantaranya keterlibatan pemuda dalam aksi teror dan tindakan radikal.
Ke depan, kiprah pemuda berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur akan makin banyak masuk dalam kekuasaan. Kekhawatiran atas kiprah mereka amat wajar, mengingat iklim perselingkuhan “uang dan kekuasaan” yang dilakoni jenis elite “penguasa-pengusaha” itu kini tengah mendominasi wacana dan praktik politik mutakhir di Indonesia. Pemuda sejatinya bisa menjawab tantangan dan kebutuhan zamannya, yaitu menuntaskan agenda reformasi yang terus tertunda.
Pembangunan di Sumatera Barat tentunya berupaya menciptakan fasilitas umum yang mampu menunjang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah daerah mencanangkan beberapa program kerja demi mencapai dan mewujudkan hal tersebut.
Menurut Adib Alfikri, Ketua KNPI Sumbar, “sejarah telah mencatat bahwa perubahan yang dialami bangsa ini, tidak terlepas dari peran serta dari para pemuda. Makanya disetiap event yang ada, pemuda harus selalu siap tampil terdepan untuk menciptakan sebuah perubahan. Daerah yang tidak melibatkan pemuda dalam pembangunan, maka yakin daerah tidak menghasilkan pembangunan sesuai yang diharapkan. Kurangnya peran pemuda ikut serta dalam membangun daerah, karena belum dibukanya ruang seluas-luasnya kepada pemuda untuk berinovasi dan berkarya minimal ikut memberikan kontribusi pemikiran dalam membangun daerah ke arah yang lebih baik.
Peran serta pemuda dalam pembangunan daerah akan sangat terasa bila hal itu terwujud. Betapa tidak, pemuda mempunyai power yang dapat mengarahkan dan mengendalikan situasi jika ia berbuat. Bila potensi itu dituangkan dalam bentuk partisipasi terhadap upaya pemerintah dalam pembangunan daerah.
Mengoptimalkn peranan Pemuda dalam Pembangunan daerah adalah bentuknya, pemuda selalu menempati peran strategis dari setiap peristiwa penting, bahkan dapat dikatakan pemuda menjadi tulang punggung perjuangan melawan penjajahan. Selain sebagai pengontrol independen terhadap segala kebijakan yang dibuat pemerintah, pemuda juga Indonesia juga aktif melakukan kritik, peran yang disandang pemuda sebagai agen perubahan dan agen kontrol sosial masih sangat efektif dalam memposisikan peran pemuda. Pemuda memiliki idealisme yang murni, dinamis, kreatif, inovatif dan memiliki energi besar bagi perubahan sosial. Selain itu, melihat batasan usia seseorang dikatakan pemuda berkisar 16-30 tahun membuat pemuda mempunyai peluang besar untuk menempati posisi strategis dan penting sebagai pelaku pembangunan mauoun generasi penerus dimasa datang.
Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat mengimbau para pemuda mengembangkan jiwa kewirausahaan sehingga dapat berbuat dalam membantu pembangunan daerah maupun nasional. Pemuda juga harus memupuk sikap disiplin dan berakhlak baik serta menjauhkan diri dari berbagai penyakit sosial. “Kalau pemuda menegakkan disiplin, yakinlah dalam menjalankan usaha akan berhasil,” pemuda Sumbar masih memiliki peran bagus di tengah-tengah masyarakat. Tapi, tetap masih ada yang perlu ditingkatkan, khususnya karater berusaha, sehingga mengurangi pengangguran. Langkah menuju Indonesia berdaya saing dan bermartabat sangat tergantung pada karakter pemuda yang kokoh. Karakter yang kokoh dicirikan semangat patriotik, jiwa nasionalis, jati diri yang mengakar dan berwawasan luas serta kecerdasan yang mencerahkan.

Sabtu, 01 September 2012

Pendidikan Remaja dari Sudut Pandang Islam

Bila kita berbicara tentang pendidikan remaja menurut sudut pandang Psikologi Islam, kita harus bertanya terlebih dahulu seperti apa seharusnya Psikologi Islam memandang remaja dan manusia secara umum? Apakah Psikologi Islam seharusnya melihat manusia lebih sebagai suatu produk kebudayaan yang tunduk sepenuhnya pada perubahan-perubahan sosial? Atau ia seharusnya lebih melihat manusia dari aspek fitrah insaniah yang dengannya ia diciptakan? Apakah fase-fase perkembangan manusia, termasuk fase remaja, harus sepenuhnya tunduk pada kehendak kultural masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu? Ataukah ia seharusnya lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat natural dalam tahap-tahap pertumbuhannya?

      Adalah benar jika dikatakan bahwa manusia merupakan makhluk budaya dan tak mungkin dipisahkan dari perkembangan budayanya. Kendati demikian, manusia juga memiliki sifat-sifat natural (fitrah) yang tak boleh diabaikan, demi terjaganya kesehatan psikologis manusia itu sendiri. Psikologi Islam berkepentingan untuk mempelajari hal-hal yang fitrah ini untuk kemudian mengawalnya dalam fase-fase pertumbuhan manusia.
      Al-Qur’an mengingatkan, “… (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”[1] Perubahan yang serius pada fitrah manusia tentu akan menimbulkan problem-problem serius juga di tingkat psikologis dan sosial. Tulisan berikut ini akan berusaha untuk membedah persoalan dan pendidikan remaja dari sudut pandang ini.

Remaja Modern dan Akar Permasalahannya
      Menggagas pendidikan remaja idealnya tetap mengacu pada kondisi remaja kontemporer, sehingga solusi yang ditawarkan tidak tercerabut dari realitas yang ada. Selain itu, kita juga mencari jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar seperti berikut: Siapa sesungguhnya kelompok usia yang disebut remaja itu? Apa karakteristiknya? Dan bagaimana situasi yang mereka hadapi pada hari ini, baik secara psikologis maupun sosial?
      Tidak ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa disebut remaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok usia peralihan antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20 tahun.[2] Hilgard menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga aspek penting yang menandai masa remaja: 1) Terjadinya perubahan fisik (berkembangnya hormon dan organ-organ seksual), 2) Adanya pencarian dan pemantapan identitas diri, dan 3) Adanya persiapan menghadapi tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang mandiri.[3]
      Fase usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahap perkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang ‘masa topan badai,’[4] sementara James E. Gardner menyebutnya sebagai masa turbulence (masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis dan sosial remaja.
      Sebenarnya, sejauh manakah gejolak yang dialami oleh remaja pada hari ini? Jika persoalan-persoalan remaja di dalam dan di luar negeri dihimpun sebanyak-banyaknya, tentu data-data itu akan mengejutkan orang yang mengamatinya. Sementara, secara kualitatif dan kuantitatif, persoalan-persoalan remaja tadi tampaknya terus meningkat dari hari ke hari.
      Remaja-remaja sekarang ini semakin akrab dengan persoalan seks, kekerasan, obat-obatan, dan problem psikologis. Perilaku seks remaja modern semakin bebas dan permisif. Riset Majalah Gatra beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22 % remaja menganggap wajar cium bibir, dan 1,3 % menganggap wajar hubungan senggama. Angka ini memang relatif kecil, tetapi penelitian-penelitian lain menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebagai contoh, 10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di Jawa Tengah mengaku sudah pernah melakukan hubungan intim.[5] Malah penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan angka yang sudah cukup tinggi.[6]
      Beberapa remaja di Semarang pernah tertangkap basah oleh aparat dan warga karena melakukan pesta seks dan mabuk-mabukan, sementara yang lainnya di Ujung Pandang meninggal dunia di mobil setelah melakukan hal yang sama. Banyak dari mereka melakukan itu semua bukan karena adanya desakan ekonomi, melainkan untuk mencari kepuasan semata.[7] Perilaku seks remaja-remaja di pedesaan ternyata juga tidak terlalu jauh berbeda dengan perilaku rekan-rekan mereka di perkotaan.
      Contoh-contoh statistik serta kasus di atas tentu tidak sebesar dan seserius yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (lihat Lampiran 1), tapi ada indikasi bahwa kebebasan seksual semakin gencar masuk ke tanah air bersama dengan tersebarnya budaya global. Media massa dan elektronik yang banyak mengandung unsur seks dan kekerasan, begitu pula komik-komik porno, begitu mudah diakses oleh kalangan remaja dewasa ini. Kini, anak-anak kelas 4 hingga 6 SD sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat dewasa tentang seks, seperti ”Apakah sex swalayan itu?” dan ”Bagaimana cara melakukan seks?”[8] Sementara, beberapa remaja puteri usia SMU merasa tak segan difoto payudara, atau malah tubuh telanjangnya, dengan handphone, semata-mata karena bangga dengan keindahan tubuhnya sendiri.[9]
      Angka kekerasan serta konsumsi rokok dan obat-obatan terlarang juga cukup tinggi di kalangan remaja Indonesia. Data tentang tawuran di Jakarta pada paruh pertama tahun 1999, sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia, memperlihatkan bahwa rata-rata dua anak tewas setiap bulannya karena perkelahian antar pelajar. Pada tahun yang sama, sebuah penelitian tentang narkoba menunjukkan bahwa paling tidak 60-80% murid SMP di seantero Yogya pernah mencicipi narkotika, sementara di wilayah-wilayah pemukiman setidaknya 10 anak baru gede (ABG) di tiap RT pernah merasakan narkotika.[10] Angka ini juga cukup tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan narkotika dalam bentuk permen pernah beredar di Jakarta Timur dengan target konsumen anak-anak SD.[11]
      Di beberapa negara asing, seperti di Amerika Serikat dan Hongkong, tingkat kerentanan psikologis anak-anak remaja sangat tinggi. Majalah News Week pernah mengangkat seriusnya persoalan remaja di Amerika pasca penembakan yang menimbulkan kematian lebih dari sepuluh anak di sekolah Columbine.[12] Salah satu survey yang diangkat oleh majalah itu menyebutkan bahwa satu dari empat remaja di Amerika Serikat berpikiran bunuh diri.[13] Survey American Academy of Pediatrics belum lama ini malah menunjukkan bahwa 60% pelajar menyatakan bahwa mereka pernah berpikiran untuk bunuh diri, dan 9% di antaranya pernah mencobanya paling tidak satu kali.[14] Sementara itu di Hong Kong, satu dari tiga remajanya berpikiran untuk bunuh diri.[15]
      Di Indonesia, persoalannya tentu tidak seserius itu. Namun, sejak pertengahan tahun 2003 hingga April 2005 setidaknya ada 30 kasus upaya bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di tanah air.[16] Tidak semua anak yang berupaya bunuh diri itu mengalami kematian. Sebagian berhasil diselamatkan dan tetap bertahan hidup. Namun, hampir semuanya melakukan upaya bunuh diri untuk alasan-alasan yang remeh dan tak masuk akal, seperti ”rebutan mie instan dengan adik,” ”rebutan remote untuk nonton AFI di TV,” ”ngambek minta dibelikan buku gambar,” atau karena ”kecewa tidak dibelikan TV.” Fenomena ini tampaknya belum mengemuka pada dekade-dekade sebelumnya. Ini semua menggambarkan adanya kerentanan yang cukup serius pada kondisi psikologis remaja-remaja Indonesia, khususnya pada tahun-tahun belakangan ini.
      Remaja modern telah menjadi suatu kelompok usia terpisah yang membedakan diri dari kelompok usia anak-anak dan dewasa. Gejolak psikologis yang mereka alami terekspresikan keluar dalam berbagai bentuk dekadensi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Mereka jadi sulit diatur dan sering bentrok dengan orang tua. Guru dan pihak sekolah pun kesulitan untuk mengontrol mereka. Remaja-remaja ini berkumpul dengan teman-teman seusia mereka dan menciptakan budaya teman sebaya (peer culture). Mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman seusia mereka yang memiliki karakteristik sama dengan mereka. Mereka juga kurang mau mendengar dari orang-orang dewasa yang semakin jarang berinteraksi dengan mereka[17] dan tidak selalu memahami gejolak perasaan mereka. Kondisi mereka yang labil seringkali mendorong terjadinya tekanan teman sebaya (peer pressure) yang cenderung menjatuhkan mereka ke berbagai hal yang negatif, seperti rokok, narkotika, kekerasan, dan seks bebas.
      Orang-orang dewasa di sekitar mereka, termasuk orang tua dan guru, mungkin bingung bagaimana seharusnya menyikapi anak-anak remaja. Mau disikapi sebagai orang dewasa, mereka ternyata belum terlalu matang dan masih banyak membutuhkan bimbingan. Mau disikapi sebagai anak kecil, lebih tidak mungkin lagi mengingat perkembangan fisik mereka yang mulai menunjukkan ciri-ciri orang dewasa.[18] Akibatnya, kelompok usia remaja menjadi semakin terasing dari dunia orang dewasa yang idealnya bisa membimbing mereka menuju kematangan dan kemandirian pribadi.
      Bagaimanakah fenomena-fenomena ini seharusnya dijelaskan? Apakah semua itu merupakan hal yang normal terjadi pada remaja? Apakah berbagai problematika psikologis dan sosial remaja modern juga dialami oleh rekan-rekan seusia mereka di masa lalu? Ataukah ini hanya menjadi ciri khas dari remaja-remaja modern? Kita akan mencoba mengurai persoalan-persoalan ini satu demi satu, sebelum menggagas solusi pendidikan terbaik bagi anak-anak remaja.
      Ketika memasuki usia remaja (puber), setiap anak mengalami perubahan yang sangat signifikan pada fisiknya, terutama yang terkait dengan organ-organ seksualnya. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan kecanggungan pada diri remaja karena ia harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tadi. Penyesuaian ini tidak selalu bisa mereka lewati dengan baik, lebih-lebih bila tidak ada bimbingan dan dukungan dari orang tua.[19]
      Bersamaan dengan terjadinya perubahan fisik menuju kedewasaan, perubahan yang bersifat psikologis juga dialami oleh remaja. Pada diri mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri. Jika pada waktu kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir tentang jati diri mereka sendiri, maka pada masa remaja pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa diri saya?” dan “apa tujuan hidup saya?”[20] menjadi persoalan yang sangat penting. Ini sebetulnya pertanyaan yang wajar bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa, karena pada masa ini mereka sudah harus mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persoalannya menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik dan terus berlarut-larut menggelayuti pikiran mereka.
      Berkenaan dengan persoalan jati diri ini, Jane Kroger mengatakan bahwa “Remaja agaknya merupakan suatu saat … ketika seseorang dihadapkan dengan persoalan definisi diri.”[21] Sementara Kathleen White dan Joseph Speisman dalam buku mereka, Remaja, menjelaskan bahwa remaja cenderung, “bergelut dengan isu mengenai siapa dirinya dan ke mana tujuannya.” Begitu seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga “barangkali hanyalah pada masa remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri.”[22]
      Sayangnya, hanya segelintir remaja yang mungkin benar-benar lulus sebagai ”ahli filsafat moral,” sementara sebagian besar lainnya justru semakin bingung dan tak peduli dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Banyak yang gagal dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mendasar tadi.[23] Kegagalan dalam definisi diri membuat remaja mengalami ’kebingungan peran’ (role confusion)[24] saat mencari model peran yang akan diikuti.
      Model peran orang tua yang sebelumnya mereka idealkan semasa kecil kini mulai ingin mereka jauhi, terutama jika orang tua bermasalah.[25] Remaja mulai melirik model-model peran dan identitas yang ada di luar keluarganya. Namun, mereka seringkali mengalami kebingungan karena ada begitu banyak pilihan peran dan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama lain, sementara mereka tidak memperoleh bimbingan yang mantap bagaimana seharusnya menentukan pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Semua itu membawa remaja kepada kondisi yang sangat labil, rentan, dan mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Pada gilirannya, tidak sedikit remaja yang akhirnya terjerumus dalam berbagai persoalan serius sebagaimana yang telah disinggung pada bagian awal dari tulisan ini.
      Situasi ini menjadi semakin buruk, karena kaum kapitalis, khususnya para pengusaha bisnis hiburan, berusaha mengambil keuntungan dari kondisi remaja yang labil. Pencarian jati diri remaja dilihat oleh mereka sebagai ”permintaan” (demand) dan peluang bisnis. Mereka pun kemudian memberikan ”penawaran” (supply) berupa artis dan selebritis yang menampilkan identitas semu (pseudo-identity). Remaja tak sekedar mengapresiasi para selebritis karena film atau lagu mereka yang menarik, tapi juga karena para selebritis itu menampilkan model-model identitas yang bisa mereka tiru dan ikuti.[26] Hanya saja, peniruan yang mereka lakukan ini tidak menyelesaikan problem dan gejolak pada diri mereka, malah semakin melipatgandakannya.
      Semua ini berputar dalam suatu siklus. Kaum kapitalis menciptakan industri hiburan yang menghadirkan artis dan selebritis. Para selebritis menampilkan identitas semu yang diapresiasi oleh anak-anak remaja sebagai upaya pemenuhan atas pencarian jati diri mereka. Kaum remaja, atau orang tua mereka, mengeluarkan uang untuk mengkonsumsi hiburan dan mengapresiasi artis-artis, dan uang itu masuk ke kantong kapitalis. Siklus itu terus berputar. Dan sebagai dampaknya, kaum kapitalis mengalami akumulasi modal, sementara remaja mengalami akumulasi krisis (Lihat bagan 1).
      Sejauh ini, data-data memperlihatkan bahwa masa usia remaja identik dengan krisis, sifat labil, serta terjadinya gejolak psikologis dan sosial yang bersifat destruktif. Dengan kata lain, kelabilan dan gejolak (turbulence) lekat dengan fase usia remaja yang merupakan peralihan antara anak-anak dan dewasa. Pendidikan remaja seharusnya mampu memberikan solusi terbaik dalam meredam keadaan labil dan penuh gejolak tadi, serta memberikan pemecahan bagi mereka untuk keluar dari lingkaran krisis yang mereka alami. Oleh karenanya, dalam rangka merumuskan solusi tadi, Psikologi Islam perlu mengevaluasi kembali posisi remaja sebagai suatu kelompok usia berikut ciri-cirinya, dikaitkan dengan sifat-sifat manusiawi dan alamiah yang seharusnya ada pada diri manusia di setiap fase usianya.
      Kajian yang kritis atas fase usia remaja memperlihatkan bahwa kelompok usia ini berikut ciri-cirinya, sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat modern, tidaklah bersifat natural. Artinya, pola pertumbuhan manusia yang alamiah sebenarnya tidak membuka peluang bagi terbentuknya kelompok usia remaja seperti yang kita pahami sekarang. Adanya fase usia remaja pada jaman modern ini sebetulnya bersumber dari penundaan kedewasaan yang dipaksakan oleh masyarakat.
      Bekenaan dengan ini Tanner mengajukan pertanyaan, ”Apakah ketegangan dan kecemasan pada masa akil baligh itu ditimbulkan oleh alam atau dipaksakan oleh masyarakat?” Ia kemudian menjawab sendiri pertanyaan tadi, ”Jawabannya tampaknya adalah bahwa ketegangan dan kecemasan tadi dipaksakan oleh masyarakat dalam negara yang sudah maju, sebab jadwal waktu masyarakat tampaknya tidaklah sinkron dengan jadwal waktu pertumbuhan alamiah manusia.”[27] Jadi, tampak jelas di sini bahwa gejolak masa remaja terjadi karena masyarakat pada negara yang sudah maju telah mengubah jadwal waktu pertumbuhan manusia sesuai dengan kepentingannya, sehingga bertentangan dengan jadwal alamiah yang dimiliki remaja tadi. Dengan kata lain, sifat labil serta gejolak masa remaja merupakan suatu produk kultural, dan tidak bersumber pada sifat-sifat natural manusia.
            Secara alamiah setiap anak seharusnya sudah menjadi dewasa pada saat baligh, atau tak lama setelah baligh, tapi masyarakat modern mempunyai jadwal yang berbeda mengenai kapan seharusnya seorang anak menjadi dewasa. Masyarakat kemudian memaksakan pemunduran jadwal kedewasaan anak sedemikian rupa – karena mereka harus melewati masa pendidikan formal yang panjang serta dikarenakan beberapa faktor lainnya – sementara pada saat yang sama jadwal alamiahnya pun tetap berjalan sebagaimana biasa. Jadi, bukannya menyesuaikan diri dengan jadwal alamiah, masyarakat modern memilih untuk memaksakan jadwal baru yang mereka anggap baik. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu gejolak pada remaja modern sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh nantinya.
      Tanner melanjutkan penjelasannya, ”Pada masyarakat primitif, tahun-tahun masa kanak-kanak memberikan segala waktu belajar yang diperlukan orang agar dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaannya. Akibatnya, kedewasaan seksual dan kedewasaan sosial dicapai hampir bersamaan. Selang waktu antaranya paling lama hanyalah dua atau tiga tahun saja.”[28] Sejarah membuktikan bahwa pada masa-masa yang lalu, remaja seperti yang kita pahami sekarang sama sekali tidak ada.[29]
      Sarlito Wirawan Sarwono, dalam bukunya Psikologi Remaja, juga menyatakan hal senada. Konsep remaja tidak dikenal pada masa-masa yang lalu. Beliau mengatakan,

“Walaupun konsep tentang anak sudah dikenal sejak abad ke-13, tetapi konsep tentang remaja sendiri baru dikenal secara meluas dan mendalam pada awal abad ke-20 ini saja dan berkembang sesuai dengan kondisi kebudayaan misalnya karena adanya pendidikan formal yang berkepanjangan, karena adanya kehidupan kota besar, terbentuknya ‘keluarga-keluarga’ batih sebagai pengganti keluarga-keluarga besar ….”[30]

      Jadi, perkembangan kebudayaan telah menunda kedewasaan anak dan menciptakan realitas kelompok usia yang baru, yaitu remaja, yang merupakan peralihan antara kelompok usia anak-anak dan dewasa. Pengamatan atas realitas baru ini kemudian melahirkan konsep tentang remaja sebagaimana yang dipahami masyarakat sekarang ini. Hanya saja, realitas baru yang dibentuk oleh kebudayaan modern ini rupanya juga ikut menyebabkan munculnya berbagai persoalan serta krisis berkepanjangan pada anak usia belasan tahun. Seperti yang dikatakan Ahmad Faqih, kemajuan sains modern telah memberikan kontribusi terhadap munculnya diskrepansi dan dehumanisasi.[31]
      Pada masa lalu serta pada masyarakat primitif yang belum bersentuhan dengan kebudayaan modern, anak-anak memperoleh status kedewasaan mereka tidak lama setelah terjadinya puber. Anak-anak ini, dengan cara yang berbeda-beda, telah dipersiapkan secara psikologis dan sosial untuk memahami dan menerima kedewasaan mereka pada awal atau pertengahan usia belasan tahun mereka. Bahkan, masyarakat-masyarakat primitif pada umumnya memiliki upacara tersendiri untuk ’melantik’ anak-anak mereka sebagai orang dewasa. Dengan demikian, anak-anak itu mengetahui dan mengalami momen kedewasaan sosial mereka secara tegas, setegas momen kedewasaan biologis yang mereka rasakan di masa puber. Yang terpenting dari itu semua, remaja-remaja pada masyarakat primitif tidak mengalami gejolak serta krisis seperti yang dialami remaja-remaja modern.
      Ada beberapa bukti dari masyarakat primitif yang bisa dihadirkan di sini. Penelitian antropologis oleh Margaret Mead di kepulauan Samoa dan Papua memperlihatkan bahwa “anak laki-laki menjadi pria dewasa dan anak wanita menjadi wanita dewasa tanpa mengalami kecemasan dan kesukaran emosional yang di Amerika dianggap tak terhindarkan.”[32] Orang-orang Indian di benua Amerika serta suku-suku primitif di Afrika Selatan juga mempunyai upacara khusus untuk melantik anak-anak mereka menjadi orang dewasa.[33] Bahkan orang-orang Yahudi modern masih memelihara upacara Bar Mitzvah di sinagog-sinagog untuk mengangkat secara resmi anak-anak lelaki mereka yang berusia 13 tahun (12 tahun untuk anak-anak perempuan) menjadi orang dewasa.[34]
      Tidak terjadinya gejolak emosi yang menonjol pada masyarakat primitif di atas adalah disebabkan oleh adanya pemberian status sosial yang jelas di usia dini – di masa-masa awal pubertas mereka – di samping adanya persiapan psikologis anak pada masa-masa sebelumnya. Sarlito Wirawan Sarwono juga menegaskan dalam bukunya bahwa remaja yang mendapat status sosial yang jelas di usia dini biasanya tidak mengalami gejolak yang menonjol. ”Pengalaman menunjukkan bahwa remaja yang telah mendapat status sosialnya yang jelas dalam usia dini, tidak menampakkan gejolak emosi yang terlalu menonjol seperti rekan-rekannya yang lain yang harus menjalani masa transisi dalam tempo yang cukup panjang,” tulisnya.[35]
      Berdasarkan semua pemaparan dan fakta-fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelabilan serta gejolak masa remaja yang berlebihan adalah realitas masyarakat modern yang merupakan dampak dari perubahan budaya. Gejolak dan krisis ini terjadi karena masyarakat serta kebudayaan pada hari ini telah memundurkan jadwal kedewasaan anak di luar dari jadwal alamiah yang dimilikinya. Pada saat puber (sekitar umur 12 tahun), anak mengalami kedewasaan biologis yang ditandai oleh mimpi basah (wet dreaming) dan berkembangnya organ-organ seksual. Dengan adanya kedewasaan biologis ini, remaja memiliki kemampuan biologis yang sama dengan orang-orang dewasa lainnya; ia dapat menikah dan mempunyai anak.
      Bersamaan dengan masuknya seseorang ke fase kedewasaan biologis, lewat pubertas, hasrat serta kebutuhan untuk menjadi dewasa secara psikologis dan sosial juga muncul. Dipisahkan dan ditundanya kedua jenis kedewasaan yang terakhir ini, yaitu kedewasaan psikologis dan sosial, dari kedewasaan biologis telah menyebabkan kebingungan, kegamangan, serta pada gilirannya gejolak dan krisis pada diri remaja (lihat Bagan 2[36]). Gejolak tersebut terjadi karena pemisahan serta penundaan tadi bertentangan dengan proses alamiah yang ada pada diri seseorang. Oleh karena itu, tugas utama Psikologi Islam adalah mencari jalan agar pertumbuhan remaja bisa kembali berlangsung secara sehat berdasarkan proses alamiahnya, tanpa harus meninggalkan fase kebudayaan modern dan kembali ke kebudayaan primitif. Dengan kata lain, Psikologi Islam perlu menarik dan merevitalisasi nilai-nilai lama yang lebih alamiah, positif, dan Islami untuk memberi solusi yang terbaik bagi pertumbuhan remaja di dunia modern.

Aspek-Aspek Pendidikan Remaja
      Berbagai persoalan remaja yang muncul terjadi karena ketegangan antara apa-apa yang natural (fitrah) pada diri manusia dengan paksaan budaya. Ia juga terjadi karena sistem pendidikan yang ada terlalu menekankan pada kepentingan negara dan pertumbuhan ekonomi, bukan demi kepentingan kesehatan pertumbuhan manusia itu sendiri.
      Perlu disadari bahwa tugas Psikologi Islam adalah agar manusia selalu lurus dengan fithrahnya.[37] Terkait dengan pendidikan, Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi untuk memunculkan manusia paripurna.[38] Para ahli pendidikan Muslim juga mempunyai pendapat yang senada. Dr. Ali Asraf menyatakan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya.[39] Sementara Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya kesempurnaan manusia yang bisa mendekatkannya kepada Allah dan bisa membawa pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[40]
      Upaya pembentukan manusia yang utuh dan paripurna (al-insan al-kamil) tidak mungkin dapat terwujud selama masih adanya kesenjangan yang serius dalam aspek-aspek kedewasaan remaja. Kesenjangan ini bertentangan dengan pola pertumbuhan natural manusia dan karenanya menimbulkan ketidaksehatan jiwa pada diri remaja. Ketidaksehatan jiwa ini pada gilirannya menyebabkan terjadinya ketidaksehatan sosial pada komunitas remaja dan lingkungannya. Prof. El-Quussy menyatakan bahwa ”pendidikan yang tidak menuju ke arah menciptakan kesehatan jiwa dianggap sebagai suatu perbuatan yang sia-sia, yang tidak ada gunanya.”[41]
      Oleh karenanya, salah satu tugas penting Psikologi Islam sekarang ini dalam pendidikan remaja adalah menghapuskan kesenjangan pada aspek kedewasaan remaja. Jadwal kedewasaan biologis tidak mungkin dimundurkan waktunya, karena terjadi secara alamiah. Oleh sebab itu, jadwal kedewasaan psikologis dan sosial-lah yang perlu kembali dimajukan waktunya agar berdekatan dengan jadwal kedewasaan biologis, sebagaimana yang selama ini dialami oleh remaja-remaja pada masyarakat primitif dan pada masyarakat di masa lalu. Dimajukannya jadwal waktu kedewasaan psikologis dan sosial lebih bersifat natural dan lebih menjamin kesehatan jiwa dalam fase pertumbuhan remaja.[42]
      Kedewasaan sosial anak remaja biasanya dicapai dengan adanya penerimaan sosial dari orang tua dan lingkungannya terhadap remaja sebagai orang yang sudah dewasa dan sejajar dengan orang-orang dewasa lainnya. Selain itu, kedewasaan sosial juga terwujud dengan adanya interaksi antara anak dengan orang-orang dewasa di sekitarnya secara sederajat dan dewasa. Dengan kata lain, anak remaja seharusnya disikapi sebagai orang dewasa dan dilibatkan dalam komunitas serta aktivitas positif[43] orang-orang dewasa. Sekiranya orang tua menyikapi dan melibatkan anak-anaknya secara dewasa, bahkan sebelum anak-anak itu menginjak masa baligh/ puber, maka anak-anak itu akan memiliki karakter dewasa yang sehat ketika ia memasuki masa remaja. Dalam situasi seperti itu, kecil kemungkinan anak akan mengalami gejolak yang serius dan berkepanjangan pada fase usia remaja. Hal demikian terjadi karena ia telah mendapatkan status sosial (status kedewasaan) yang jelas sejak dini.
      Adapun kedewasaan psikologis idealnya dibentuk sejak masa pra-pubertas lewat pendidikan yang bisa menumbuhkan karakter dan perilaku dewasa pada anak. Oleh karena itu, perlu diteliti aspek-aspek apa saja yang membedakan antara anak-anak dan orang dewasa. Kami sendiri berpandangan aspek-aspek dasar yang membedakan kedua kelompok usia meliputi empat hal, yaitu identitas diri, tujuan hidup (serta visi), pertimbangan dalam memilih, serta tanggung jawab.[44] Pendidikan remaja perlu memperhatikan tumbuh sehatnya keempat aspek ini dan memulainya sejak anak belum lagi menginjak usia remaja. Berikut ini akan dibahas keempat aspek tersebut satu demi satu.[45]

1. Identitas diri.
      Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang identitas atau jati dirinya, karena mereka belum memiliki kemandirian, termasuk dalam persoalan identitas. Anak-anak mengidentifikasi dirinya dengan orang tuanya. Mungkin bisa dianggap bahwa identitas anak-anak pra-pubertas sama dengan identitas orang tuanya. Namun, ketika anak memasuki fase kedewasaan biologis (baligh/ puber), ia mulai merasakan adanya tuntutan untuk mandiri, termasuk dalam persoalan identitas. Apa yang sebelumnya belum terlintas di dalam pikiran, kini mulai menjadi hal yang serius. Pertanyaan seperti ”siapa saya sebenarnya?” dan ”apa tujuan hidup saya?” mulai menuntut jawaban-jawaban yang mandiri.
      Pada titik ini, idealnya remaja sudah siap untuk menjadi mandiri dan dewasa. Seorang yang memiliki karakter dewasa tidak merasa bingung dengan identitas dirinya. Ia mengetahui dengan baik siapa dirinya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Identitas pada diri orang dewasa tadi menjadi kokoh seiring dengan terbentuknya nilai-nilai (values) serta prinsip-prinsip yang mendukung.
      Dalam kaitannya dengan identitas, seseorang biasanya akan mengaitkan dirinya dengan salah satu dari hal berikut: agama atau ideologi, suku atau bangsa, serta profesi. Seorang santri misalnya, ia akan cenderung menyatakan ”Saya adalah seorang Muslim” saat ditanya tentang siapa dirinya. Adapun oang yang hidup dalam komunitas kesukuan yang kental akan lebih mengaitkan identitas dirinya dengan sukunya. Seseorang bisa saja memiliki lebih dari satu identitas pada saat yang bersamaan – misalnya sebagai Muslim, sebagai orang Jawa, dan sebagai pengusaha sekaligus – tetapi biasanya ada satu identitas yang lebih bersifat dominan dan menjadi identitas utama.
      Suatu identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values) serta prinsip yang mendukungnya, sebab kalau tidak demikian, maka identitas tersebut hanya akan bersifat artifisial dan tidak konsisten. Sebagai contoh, misalnya seorang menyatakan bahwa identitas utamanya adalah Muslim, tetapi ia tidak memahami nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam serta banyak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agamanya. Oleh karena itu, membangun identitas diri pada anak harus dilakukan dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang menopang tegaknya identitas tersebut.
      Anak-anak perlu dibangun identitasnya sejak kecil, baik di rumah maupun di sekolah, sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka sudah memiliki identitas diri yang kokoh dan tak lagi mudah terombang-ambing dalam hidup. Psikologi Islam tentu merekomendasikan agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap orang. Dan karena itu, nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan dan ditanamkan secara bertahap pada anak. Jika proses penenaman dan pewarisan nilai ini berjalan dengan baik, maka anak tidak akan lagi mengalami krisis identitas saat memasuki usia belasan tahun.

2. Tujuan dan Visi dalam Hidup
      Adanya tujuan dan visi dalam hidup juga sangat membantu terbentuknya identitas diri dan kedewasaan pada diri seseorang. Anak-anak pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang tujuan dan visi hidup. Mereka masih bergantung pada tujuan dan rencana-rencana orang tuanya. Orang yang memiliki karakter dewasa mengetahui dengan baik apa-apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya, walaupun tidak semua orang yang berusia dewasa dapat dipastikan memiliki ciri-ciri ini. Tujuan dan visi juga terkait erat dengan identitas diri. Jika seseorang menjadikan agama sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu akan merujuk pada nilai-nilai agama. Jika ia menjadikan profesi dan pekerjaan sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu merujuk pada profesi dan pekerjaannya.
      Dalam konteks pendidikan kedewasaan remaja, idealnya seseorang telah diorientasikan untuk berpikir tentang tujuan dan cita-citanya sejak ia masih anak-anak dan belum memasuki masa puber. Bila tujuan hidup serta visi yang tinggi ditanamkan kepada anak secara terus menerus, maka pada saat anak sudah mulai harus mandiri, yaitu pada masa baligh, ia akan memiliki arah hidup yang jelas. Ia tak lagi merasa bingung dengan apa yang sesungguhnya menjadi keinginannya, sebagaimana yang seringkali dialami oleh remaja-remaja modern.
      Pihak orang tua maupun guru di sekolah tidak boleh meremehkan cita-cita seorang anak yang sangat tinggi dan tampak mustahil. Mereka justru harus memandangnya secara positif dan mendorongnya, sambil mengarahkan anak pada langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk mencapai cita-cita tadi – tentunya sesuai dengan kapasitas berpikir dan bertindak mereka. Dengan demikian, sejak awal anak-anak dan remaja akan disibukkan dengan tujuan dan cita-cita mereka, sehingga tak lagi memiliki banyak kesempatan untuk membuang-buang waktu mereka tanpa adanya tujuan yang jelas.

3.  Pertimbangan dalam Memilih
      Al-Qur’an mengajarkan bahwa ada dua dasar pertimbangan dalam memilih, yaitu berdasarkan suka-tak suka atau berdasarkan baik-buruk. Al-Qur’an, serta akal sehat kita, mengajarkan bahwa pertimbangan baik-buruk lebih baik daripada pertimbangan berdasarkan suka-tak suka. ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216).
      Anak-anak cenderung memilih sesuatu berdasarkan pertimbangan suka-tak suka. Bila ia menyukai sesuatu, maka ia akan menginginkan dan berusaha untuk mendapatkannya. Bila ia tak menyukainya, maka ia akan berusaha menolaknya walaupun sesuatu itu mungkin baik untuknya. Orang yang memiliki karakter dewasa memilih dengan dasar pertimbangan yang berbeda. Mereka menimbang sesuatu berdasarkan baik buruknya. Walaupun ia cenderung pada sesuatu, ia akan mengindarinya sekiranya itu buruk bagi dirinya. Tentu saja ini merupakan sebuah gambaran yang ideal. Pada realitanya, banyak juga dijumpai orang-orang yang berusia dewasa tetapi melakukan hal-hal yang buruk hanya karena mereka menyukai hal-hal tersebut.
      Pendidikan yang baik seharusnya mampu mengarahkan anak setahap demi setahap untuk mengubah dasar pertimbangannya dari suka-tak suka menjadi baik-buruk. Dalam hal ini, komunikasi dengan anak memainkan peranan yang sangat vital. Kepada anak-anak perlu dijelaskan alasan baik-buruknya mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan atau mengapa sesuatu harus dilakukan. Dengan demikian mereka memahami alasan baik-buruk di balik boleh atau tidaknya suatu pilihan.
      Kepada mereka juga perlu dijelaskan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ada. Biarkan anak melihat pilihan yang mereka miliki, yang baik serta yang buruk, berikut resiko yang ada di baliknya. Ajak anak untuk menetapkan sendiri pilihannya, bukannya memaksakan pilihan-pilihan yang kita buat, dengan demikian ia akan menjadi lebih bertanggung jawab dengan pilihan-pilihan yang diambilnya itu. Semua proses ini akan membantu kematangan berpikir anak dan menjadikannya lebih bertanggung jawab. Setiap kali ia hendak menentukan pilihan, ia sudah terlatih dengan kebiasaan berpikir yang berorientasi pada pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, ketika ia menginjak usia belasan tahun, ia sudah bisa mengambil keputusan-keputusan yang positif secara mandiri. Ia tidak akan mudah terombang-ambing dengan ajakan-ajakan orang lain yang tidak menguntungkan bagi kepentingan jangka panjangnya dan juga tidak akan menentukan pilihan-pilihan secara asal dan tak bertanggung jawab.

4. Tanggung Jawab
      Setiap orang melewati beberapa fase tanggung jawab dalam perjalanan hidupnya. Ketika masih anak-anak dan belum memiliki kemampuan untuk mengemban tanggung jawab, maka orang tuanyalah yang memikul tanggung jawab untuknya, sampai ia mampu memikulnya sendiri. Fase ini bisa disebut sebagai fase pra-tanggung jawab. Ketika anak beranjak dewasa, kemampuannya dalam memikul tanggung jawab juga meningkat. Pada saat itu, sebagian dari tanggung jawab, yaitu tanggung jawab yang sudah mulai bisa dipikulnya, bisa didelegasikan oleh orang tua kepada anak. Fase ini bisa disebut fase tanggung jawab parsial.
      Ketika seseorang sudah hidup mandiri sepenuhnya, dalam arti ia sudah menikah dan bermatapencaharian, maka ia memasuki fase tanggung jawab penuh. Tanggung jawab sudah didelegasikan kepadanya secara penuh. Akhirnya, seseorang bisa memperluas tanggung jawabnya sesuai dengan kapasitas dirinya. Ia bisa menjadi pemimpin di lingkungan keluarga besarnya, di lingkungan masyarakatnya, bahkan di tingkat nasional atau internasional. Fase ini bisa disebut sebagai fase perluasan tanggung jawab (lihat Bagan 3).
      Setiap orang tentu tidak melompat dari fase tanggung jawab yang satu ke fase berikutnya secara mendadak. Karenanya, sebelum memasuki fase yang lebih tinggi, ia perlu dipersiapkan dengan latihan-latihan tanggung jawab tertentu. Anak perlu ditumbuhkan kepekaan tanggung jawabnya (sense of responsibility), bukan dibebani secara terus menerus dengan bentuk-bentuk tanggung jawab (forms of responsibility). Sekiranya pada diri anak terbangun rasa memiliki tanggung jawab serta rasa bangga dalam mengemban tanggung jawab, maka ia akan lebih mudah menerima berbagai bentuk tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya.
      Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, anak perlu diberi latihan-latihan tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya, serta diarahkan untuk merasa senang dengan pemenuhan tanggung jawab itu. Anak-anak yang tumbuh tanpa pembiasaan tanggung jawab semacam ini akan cenderung merasa berat dan memberontak pada saat ia harus menerima apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memiliki kapasitas untuk mengemban tanggung jawab tertentu, tetapi malah bersikap tidak dewasa dengan membenci dan menolak tanggung jawab itu atas dirinya. Semua itu terjadi karena ia tidak pernah dididik dan dipersiapkan untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Maka dari itu, pendidikan remaja dalam konteks Psikologi Islam perlu membangun kedewasaan anak dengan cara menumbuhkan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) serta memberikan latihan-latihan tanggung jawab sejak dini.
      Agar anak tidak terbebani dengan proses percepatan kedewasaan psikologis dan sosial, bentuk-bentuk tanggung jawab yang telah diberikan secara berlebihan pada kebanyakan anak modern juga perlu dikurangi. Anak-anak perlu diberi kesempatan yang cukup untuk bermain secara sehat hingga ia berusia tujuh tahun. Dengan demikian, proses pertumbuhan mereka akan berlangsung dengan baik dan sehat, sehingga terjadinya gejolak yang berlebihan di masa remaja akan dapat dihindari.

Kesimpulan
      Sebagaimana telah dijelaskan, berbagai problem serta gejolak masa remaja yang terjadi pada hari ini muncul karena adanya kesenjangan yang serius antara kedewasaan biologis dan kedewasaan psikologis serta sosial pada diri anak. Kesenjangan ini tidak terjadi pada masyarakat primitif serta pada masyarakat masa lalu. Ia terjadi pada remaja-remaja modern karena masyarakat telah memundurkan jadwal kedewasaan psikologis dan sosial dari jadwal kedewasaan biologis anak. Semua ini bertentangan dengan proses alamiah dari pertumbuhan tiap manusia.
      Tugas pendidikan dan Psikologi Islam adalah memastikan bahwa pertumbuhan manusia berjalan sesuai dengan fitrahnya serta memastikan terbentuknya manusia yang utuh dan paripurna (al-insan al-kamil). Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali jika kesenjangan yang telah disebutkan tadi bisa dihapuskan. Oleh karena itu, proses kedewasaan psikologis dan sosial anak perlu dibentuk sejak dini, sehingga ketika anak memasuki tahap kedewasaan biologis, ia sudah siap untuk memiliki dua aspek kedewasaan lainnya.
      Kedewasaan sosial bisa diraih anak dengan adanya penerimaan sosial dari lingkungannya terhadap anak sebagai orang dewasa yang setara dengan orang dewasa lainnya. Jika anak disikapi dan diperlakukan secara dewasa, maka ia akan lebih cepat menjadi dewasa. Adapun kedewasaan psikologis bisa diraih anak lewat proses pendidikan dan pelatihan yang memperhatikan empat aspek, yaitu identitas diri, tujuan hidup, pertimbangan dalam memilih, serta tanggung jawab.
      Pembentukan kedewasaan psikologis dan sosial perlu menjadi perhatian serius dalam proses pendidikan anak menuju fase usia belasan tahun. Baik orang tua maupun guru di sekolah perlu memperhatikan ketimpangan yang selama ini terjadi pada remaja dan merealisasikan solusinya dengan memperhatikan hal-hal yang telah diterangkan di atas. Dengan demikian, pada saat memasuki masa baligh, anak sudah siap untuk memasuki fase dewasa awal dalam tahap pertumbuhannya, dan bukannya menjadi remaja yang penuh gejolak (turbulence) seperti yang kita saksikan pada hari ini.
      Akhirnya, semua hal di atas bisa diimplementasikan dengan baik tanpa perlu membuat kebudayaan surut kembali ke belakang ke masa-masa primitif. Dengan begitu kesehatan pertumbuhan manusia serta kemajuan masyarakat bisa berjalan beriringan, tanpa perlu salah satunya mengorbankan pihak yang lain.

 
Daftar Pustaka
Buku
Alatas, Alwi. 2004. Remaja Gaul Nggak Mesti Ngawur. Jakarta: Hikmah.
Alatas, Alwi. 2005. (Untuk) 13+, Remaja Juga Bisa Bahagia, Sukses, Mandiri. Jakarta: Pena.
Ashraf, Dr. Ali. 1993. Horison Baru Pendidikan Islam. Pustaka Firdaus.
Daud, Wan Mohd Noor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Bandung: Mizan.
Hilgard, Ernest R., Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson. 1979. Introduction to
      Psychology. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Kroger, Jane. 1989. Identity in Adolescence: The Balance between Self and Other.   
    London & New York, Routledge.
Mandela, Nelson. 1995. Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan: Otobiografi Nelson
      Mandela. Jakarta: Binarupa Aksara.
Al-Qur’an al-Karim.
El-Quussy, Prof. Dr. Abdul ‘Aziz. 1975. Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/ Mental, jilid. II.
      Jakarta: Bulan Bintang.
Sarwono, Dr. Sarlito Wirawan. 1981. Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja:
         Sebuah Penelitian Terhadap Remaja Jakarta. Jakarta: CV Rajawali.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Remaja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Sulaiman, Prof. Fathiyah Hasan. Konsep Pendidikan Al-Ghazali. P3M.
Tanner, James M. dan Gordon Rettray Taylor. 1975. Pustaka Ilmu LIFE:
      Pertumbuhan,.Jakarta: Tira Pustaka.
Thalib, Drs. M. 1995. Memahami 20 Sifat Fitrah Anak. Bandung: Irsyad Baitus Salam.
White, Kathleen M. dan Joseph C. Speisman. 1989. Remaja. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.

Artikel
Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma
         Kemodernan dan Turats Islam,” dalam