Sabtu, 14 April 2012

lesson study


PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN
DAN PROFESIONALITAS GURU
DALAM KONTEKS LESSON STUDY


1. GURU
Di sekolah, guru merupakan tulang punggung atau sentral untuk seluruh kegiatan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa guru tidak mungkin ada pembelajaran, tanpa guru tidak mungkin sekolah tertib, tanpa guru tidak mungkin sekolah disiplin, tanpa guru tidak mungkin siswa berprestasi, tanpa guru tidak mungkin ada perubahan. Oleh karena itu, untuk keberhasilan suatu sekolah dalam mewujudkan sekolah reformis berkualitas “School Reform” ,sangat diperlukan guru yang profesional.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 menjelaskan tentang pendidikan akademis dan pendidikan profesi. Mengenai pendidikan guru ada pre-service education, yaitu pendidikan seseorang mempunyai jabatan. Ada pula yang disebut in-service education (pendidikan dalam jabatan), artinya seseorang sudah menjabat guru lalu ia ingin belajar lagi pada jenjang yang lebih tinggi.
Tidak semua guru yang dihasilkan dalam pre-service education yang well trained dan well qualified. Untuk itu, guru harus berusaha untuk tumbuh, baik secara pribadi maupun secara profesi. Jabatan guru itu harus diilustrasikan sebagai sumber air yang terus menerus mengalir sepanjang karier seseorang. Jika sumber itu tidak diisi terus menerus, maka air itu akan kering. Jelasnya, Guru harus mengisi pengetahuan dan keterampilannya sepanjang hidup dan sepanjang karier hidup.(Suhertian, 1984, Profil Pendidik Profesional: 36-37).
Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 bab XI pasal 39 tertuang bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Kewajiban pendidik di antaranya: (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; (b) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; (c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Pada pasal 42 ditegaskan bahwa (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang usia dini, pandidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 pasal 28 tertuang bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi tersebut adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi a) Kompetensi pedagogik; b) Kompetensi kepribadian; c) Kompetensi profesional; d) Kompetensi sosial.
Standar profesional guru, dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan disadari satu kebenaran fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional, yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan pendidikan di masa depan. Dalam kaitan mempersiapkan guru berkualitas di masa depan, dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini dihadapkan pada persoalan bagaimana meningkatkan kualitas sekitar 2,5 juta guru yang sekarang ini sudah bertugas di ruang-ruang kelas.
Pendidikan merupakan suatu rekayasa untuk mengendalikan learning guna mencapai tujuan yang direncanakan secara efektif dan efisien. Dalam proses rekayasa ini peranan “teaching” amat penting karena merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai kepada siswa sehingga apa yang ditransfer memiliki makna bagi diri sendiri, dan berguna tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi masyarakatnya. “Teaching” atau mengajar hanya dapat dilakukan dengan baik dan benar oleh seseorang yang telah melawati pendidikan tertentu yang dirancang untuk mempersiapkan guru. Dengan kata lain, mengajar merupakan suatu profesi. (Dr. Zamroni, 2003, Paradigma Pendidikan Masa Depan: 55- 60)
Peranan guru mengalami perubahan dari tokoh yang menyampaikan informasi menjadi orang yang memberikan bimbingan dan bantuan kepada tiap siswa secara individual. Namun ia tidak halangi untuk memberikan pengajaran klasikal atau menggunakan metode kuliah bila diperlukan oleh segenap siswa. Untuk menjalankan pengajaran individual guru harus memperdalam pengetahuan dan keterampilan tentang cara-cara mengajar yang terbuka baginya.(Nasution, 1997, Belajar dan Mengajar: 76)
 Untuk melihat tingkat kemampuan profesional guru ada 2 perspektif, yaitu pertama, dilihat dari tingkat pendidikan minimal dari latar belakang pendidikan untuk jenjang sekolah tempat dia menjadi guru. Kedua, penguasaan terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melakukan tugas-tugas bimbingan, dan lain-lain. Profesi guru tampaknya masih relatif berbeda dengan profesi yang berpijak dari ilmu keras (hard sciences), profesi yang berbasis ilimu-ilmu keras tertentu benar-benar mengkondisikan penyandang profesi itu untuk melakukan praktik-praktiknya berdasarkan teori keilmuan, teori yang benar-benar menjadi masukan dalam praktek. Untuk pengembangan profesinya, banyak guru pemula yang merasa sedih karena tidak dipersiapkan secara matang untuk melaksanakan tugas-tugas kompleks yang diperlukan di dalam kelas. Pendidikan prajabatan bagi guru-guru dinilai masih terlalu lemah sehingga guru pemula masih harus banyak belajar di dalam pekerjaan, serta saling membantu satu sama lainnya dalam batas-batas yang mereka bisa buat. (Sudarwan, 2002, Inovasi Pendidikan: 30 – 53)
Setiap guru memiliki kompetensi, yaitu tingkat berpikir abstrak, kognitif, imajinatif. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa riset yang telah dilakukan oleh Harvey (1996)(dalam Glickman, 1981), Hunt dan Joyce (1967) (dalam Glickman, 1981) menunjukkan bahwa guru yang tingkat pengembangan kognitifnya tinggi akan berpikir lebih abstrak imajinatif, kreatif dan demokratis. Mereka akan lebih fleksibel dalam melakukan tugasnya.
Guru yang memiliki pemahaman konseptual tinggi terhadap masalah pendidikan akan mempunyai relasi yang lebih positif dengan siswa maupun dengan sejawat dan kurang mengalami gangguan psikologis. Glassberg (dalam Glickman, 1981) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa guru-guru yang tingkat berpikir abstraknya tinggi memiliki daya adaptasi dan gaya mengajar yang bersifat fleksibel. Mereka lebih supel serta mampu menggunakan berbagai model mengajar. Sebab dengan daya berpikir yang kreatif mereka akan mampu menciptakan variasi mengajar yang menyenangkan. Perlu disadari bahwa mengajar dapat efektif dan berhasil bila guru dapat memahami bentuk tingkah laku siswa yang sangat kompleks. Guru-guru yang memiliki tingkat berpikir abstrak tinggi lebih efektif dalam menganalisis kesulitan-kesulitan belajar di kelas. OJA (dalam Glickman, 1981) dalam risetnya menyatakan bahwa guru yang tingkat konsep berpikir abstraknya tinggi dapat melihat barbagai kemungkinan dan mampu menggunakan berbagai cara untuk mencapai alternatif model mengajar, lebih konsekuwen dan efektif dalam menghadapi para siswanya. Singkatnya, guru yang memiliki tingkat abstraknya tinggi, mereka akan mampu mengatasi berbagai masalah baik manajemen di kelas maupun masalah disiplin.
Seorang guru yang tidak memiliki kemampuan berpikir abstrak rendah, mareka hanya mampu menemukan satu alternatif pemecahan masalah saja. Guru-guru dengan kemampuan yang rendah tidak memiliki kepastian bila mereka menghadapi masalah di dalam kelas. Mereka tidak akan tahu apa yang akan dikerjakan dan selalu minta petunjuk cara penyelesaian suatu masalah. Berpikir abstrak dan imaginatif adalah kemampuan untuk memindahkan konsep, visualisasi, mengindentifikasi dan mengumpulkan data. (Suhertian, 1984, Profil Pendidik Profesional:42-43)
Guru sebagai seorang pendidik dan pembimbing dikatakan berhasil bila dapat menunjukkan mutu kinerja dalam menghantarkan para siswanya ke arah yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum siswa yang bersangkutan menjadi anak didiknya. Mutu kinerja yang dimaksudkan adalah mutu kinerja yang ditampilkan setelah guru yang bersangkutan dalam menerima dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam bentuk tugas pekerjaan yang harus dilaksanakannya.
Di samping kreativitas guru, ada hal lain yang berpengaruh terhadap mutu kinerja kerja guru yaitu supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadapnya. Dengan kata lain, seorang guru perlu mendapat supervisi dari pimpinannya, yaitu kepala sekolah, hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa, “Supervisi Klinis dilaksanakan oleh atasan langsung karena supervisi klinis merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus-menerus dilakukan atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas berjalan secara efektif, dan efesien dengan rencana kegiatan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.  Supervisi seorang pimpinan terhadap bawahannya diduga begitu dominan mempengaruhi keberhasilan kerja para bawahannya. Begitupun halnya dengan supervisi klinis yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap para guru diduga cukup berpengaruh terhadap peningkatan mutu kinerja para guru dalam menjalankan tugasnya.
Guru sebagai seorang pendidik dan pembimbing dikatakan berhasil, bila dapat menunjukkan mutu kinerja dalam menghantarkan para siswanya ke arah yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum siswa yang bersangkutan menjadi anak didiknya. Mutu kinerja yang dimaksudkan adalah mutu kinerja yang ditampilkan setelah guru yang bersangkutan dalam menerima dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam bentuk tugas pekerjaan yang harus dilaksanakannya.

2. GURU PROFESIONAL
               Berbicara tentang guru profesional banyak orang yang mengatakan bahwa pekerjaan guru adalah profesional karena tidak dapat digantikan dengan profesi lain. Bila ditinjau dari kemampuannya guru profesional ada 2 persepektif seperti telah diuraikan di atas, yaitu dilihat dari tingkat pendidikan minimal, dan dilihat dari penguasaan keilmuan dan pembelajaran. Namun mari kita perhatikan guru profesinal dilihat dari hasil penelitian.
PARADIGMA KATEGORI GURU



 
Berdasarkan diagram di atas terbagi dalam ada 4 kelompok guru. Yang dimaksud dengan Abstraksi yaitu yang berkaitan dengan daya talar, cara berpikir, ingatan, kemampuan penguasaan materi, kepandaian atau lebih dekat pada kemampuan kognitif. Sedangkan Komitmen berkaitan dengan kemampuan cara berkomunikasi atau bagaimana hubungan dengan atasan dengan sederajat atau dengan bawahan, cara kerja, dan perhatian. Jadi pada kolom 1 ~ 4 ada “A“dan “K” minus atau plus, hal tersebut menunjukan bahwa kelompok ! adalah guru yang profesional, kelompok 2 adalah guru tukang kritik, kelompok 3 adalah guru yang terlalu sibuk, dan kelompok 4 adalah guru yang acuh tak acuh.
Guru kelompok 1 adalah yang memiliki tingkat abstraksi positif dan komitmennya pun positif, mengajar: masuk tepat waktu keluar tepat waktu. Memiliki perencanaan yang matang, melaksanakan pembelajaran dengan baik penuh perhatian dan tanggung jawab kepada peserta didik, mengadakan evaluasi, mencari solusi terbaik untuk tindak lanjut. Hubungan kerja dengan kepala sekolah dan teman sejawat bagus.
Guru kelompok 2 adalah guru yang memiliki tingkat abstraksinya tinggi tetapi komitmen rendah, cara kerja  dan komunikasi kurang.  Guru kelompok ini, bila mengeritik orang lain sangat pintar, tetapi mengajar kurang bagus karena merasa dirinya pandai sehingga kadang-kadang mengabaikan pendapat siswa, kurang perhatian dan kadang bolos, mengajar tidak tepat waktu dan keluar pun tidak tepat waktu. Kurang demokratis dalam mengajar dan kurang bijak dalam menyikapi pendapat atau pertanyaan dari siswa.
Guru kelompok 3 adalah guru yang kemampuan penguasaan materi kurang tetapi memiliki cara kerja dan komunikasi baik. Guru kelompok ini, mengajar tepat waktu keluar pun tepat waktu, tapi cara mengajarnya kurang bisa diterima oleh peserta didik, kadang-kadang mencatat, memberi tugas, diskusi dan yang bersangkutan ada di dalam kelas. Kadang-kadang guru kelompok ini terlalu sibuk, mengajar dimana-mana, bahkan sambil bisnis, waktu betul-betul digunakan seefisien mungkin, evaluasi tidak terlaksana dengan baik.
Guru kelom[pok 4 adalah guru yang memiliki tingkat abstraksinya rendah dan komitmennya pun rendah, sehingga masuk pada kategori guru yang acuh tak acuh. Mengajar sekehendak sendiri, masuk atau keluar kelas pun tidak tepat waktu, kadang bolos dan tidak memberi tugas, hubungan dengan teman sejawat dan kepala sekolah kurang harmonis, rapat dinas pun kadang ikut kadang tidak, yang sangat kurang bagusnya sudah segala kemampuan kurang tidak pernah bertanya kepada orang lain, bahkan bila ditanya dengan kesalahannya pun seperti tidak memiliki kesalahan dan tidak mau tahu.
Dengan memperhatikan 4 kelompok guru tersebut, meskipun memiliki sedikit kekurangan keinginan semua guru pasti pada kelompok 1. Oleh karena itu, beusahalah untuk menjadi guru yang profesional. Untuk menjadi guru yang profesional tentu saja bukan hal yang mudah tapi perlu perjuangan. Guru yang profesional pasti sangat diidamkan atau difavoritkan oleh para siswa. Di bawah ini adalah sifat-sifat guru yang baik dan tidak baik hasil penelitian 14000 siswa. 
Dikutip dari buku ”PROFIL PENDIDIK PROFESIONAL” karangan Prof.Drs.Piet A. Sahertian, Hasil penelitian Witty sejumlah 14.000 siswa SD ~ SLTA  sifat-sifat guru yang baik dan guru yang tidak baik sebagai berikut.
A.  SIFAT-SIFAT GURU YANG BAIK
1.     Mau bekerjasama dan demokratis
2.     Ramah tamah dan suka mendengarkan orang lain
3.     Sabar
4.     Luas pandangan dan menaruh perhatian pada orang lain
5.     Penampilan pribadi yang menyenangkan dan sopan santun
6.     Jujur
7.     Suka humor
8.     Kemampuan kerja yang baik dan konsisten
9.     Menaruh perhatian pada problem-problem siswa
10.  Fleksibel dalam cara mengajar
11.  Bisa menggunakan pujian dan mau memperbaiki
12.  Pandai sekali dalam mengajar pada bidang studi/ mata pelajaran
B.  SIFAT-SIFAT GURU YANG TIDAK BAIK
1.     Tempramen yang buruk
2.     Tidak beres dan suka mencari popularitas murahan
3.     Tidak pernah menolong siswa
4.     Kurang rasional dan kurang realistis
5.     Suka bicara yang tidak benar dan kurang realistis
6.     Terlalu kasar dan kejam
7.     Penampilan yang kurang menarik
8.     Kurang fleksibel
9.     Cenderung untuk berbohong
10.  Suka menjatuhkan siswa
11.  Terlalu berlebih-lebihan
12.  Kurang humor
3.  PEMBELAJARAN
     Dalam Peraturan Pemerintah RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, pasal 19 berbunyi:
1.    Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukupbagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
2.    Selain ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1), dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan.
3.    Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
         Tantangan bagi guru adalah bagaimana mengimplementasikan UU No. 14 tahun 2005  tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Berbicara pembelajaran, sebuah penelitian dalam kamus kontemporer menyebutkan bahwa pembelajaran adalah (proses) memperoleh atau mendapatkan pengetahuan tentang subjek atau keterampilan yang dipelajari, pengalaman, atau instruksi. (“learning is acquiring or getting of knowledge of a subject or skill by study, experience, or intruction”). Definisi yang lebih khusus, pembelajaran adalah suatu perubahan prilaku yang relatif tetap dan merupakan hasil praktik yang diulang-ulang (A more specialized definition might read as follow: “Learning is a relatively permanent change in a behavioral tendency and is the result of reinforced practice” (Kimble dan Garmezy dalam Brown, 1987: 6) dikutip oleh Pringgawidagda (2002: 20).
       Dalam pembelajaran mengandung makna bahwa pembelajar harus dibelajarkan, bukan diajarkan. Dengan demikian, kegiatan belajar berpusat pada pembelajar (learner). Oleh karena itu, sebagai pembelajar harus aktif mencari, menemukan, menganalisis, memecahkan masalah, merumuskan, dan menyimpulkan suatu masalah. 
       Secara umum, berdasarkan pengalaman empiris di lapangan proses belajar mengajar merupakan kegiatan interaksi antara guru dengan siswa yang direncanakan secara matang. Kita mengetahui bahwa proses belajar mengajar menempuh dua tahapan yaitu tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan termasuk penilaiannya. Perencanaan berwujud dalam bentuk satuan pelajaran, sedangkan pelaksanaan proses belajar mengajar adalah satuan pelajaran pada saat proses interaksi antara guru dan siswa atau pembelajaran itu berlangsung.
       Dalam buku “Strategi Pembelajaran” yang dikemukakan oleh Sudjana, belajar dipengaruhi oleh dua pandangan. Pertama, peserta didik adalah manusia pasif yang hanya melakukan respon terhadap stimulus. Peserta didik/ siswa akan belajar apabila dilakukan pembelajaran oleh pendidik secara sengaja, teratur, dan berkelanjutan. Tanpa upaya pembelajaran yang disengaja dan berkelanjutan, maka peserta didik tidak mungkin melakukan kegiatan belajar. Kedua, pandangan yang mendasarkan pada asumsi bahwa peserta didik adalah manusia aktif yang selalu berusaha untuk berpikir dan bertindak di dalam dan terhadap dunia kehidupannya. Belajar akan terjadi apabila peserta didik berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
      Kegiatan pembelajaran terjadi melalui interaksi antara peserta didik/siswa dengan pendidik dan pihak lainnnya. Dalam kegiatan belajar kelompok, interaksi terjadi pula di antara peserta didik itu sendiri. Jadi interaksi antara peserta didik dengan pendidik atau antar peserta didik berada dalam situasi kegiatan pembelajaran itulah yang dimaksud dengan pembelajaran. Pembelajaran adalah segala aktivitas yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta didik untuk mencapai tujuan belajar. Tujuan pembelajaran berkaitan dengan perubahan tingkah laku peserta didik yang meliputi aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai-nilai dan aspirasi.
      Dalam interaksi pembelajaran yang aktif, kedua pihak menampilkan peranan masing-masing. Peranan yang melakukan interaksi tersebut berbeda yakni pengajar dan pembelajar atau guru dan siswa. Perbedaan ini disebabkan oleh latar pengalaman, tingkat pendidikan, dan status. Pendidik dan peserta didik memiliki perbedaan pribadi masing-masing. Peserta didik perlu mengetahui terlebih dahulu cara-cara atau teknik-teknik belajar yang baik, sedangkan pendidik dengan sendirinya menguasai teori-teori metode dan teknik-teknik tersebut, sehingga interaksi dalam kegiatan pembelajaran berjalan efektif dan efisien (Sudjana, 2000: 51, 95).
       Sebagai Contoh, Pembelajaran bahasa dilihat dari settingnya, ada dua tipe pembelajar bahasa menguasai bahasa target (bahasa yang ingin dikuasainya). Kedua tipe itu adalah bahasa yang dikuasai secara formal (pembelajaran) dan bahasa yang dikuasai secara informal (pemerolehan). Setting formal adalah salah satu lingkungan belajar yang memfokuskan pada penguasaan secara disadari terhadap kaidah atau aturan-aturan bahasa target. Ciri keformalan penguasaan bahasa di dalam setting kelas adalah adanya pengajar (guru), pembelajar, materi, tujuan, kegiatan belajar belajar mengajar, dan evaluasi (sudjana 1990: 47) dikutip oleh Pringgawidagda Suwarna (2002: 21). Dalam kegiatan belajar, pembelajar berusaha menguasai bahasa target seperti penutur asli. Pembelajar yang berhasil secara ideal dapat menguasai bahasa target menyamai kecakapan penutur asli orang dewasa. Akan tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Bahasa pembelajar sering ditandai oleh penyimpangan-penyimpangan yang meliputi semua tataran bahasa. Tataran bahasa yang dimaksud adalah morfologi, sintaksis, semantic dan leksikon, serta wacana. Adanya penyimpangan itu menandakan bahwa pembelajaran belum berhasil dengan baik. 

4.  PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN
     Dalam buku “Proses Belajar Mengajar Yang Efektif” yang dikemukakan oleh Rusyan Tabrani (1993: 20-23) bahwa berbagai eksperimen oleh para ahli psikologi tentang proses belajar mengajar, berhasil mengungkapkan serta menemukan sejumlah prinsip atau kaidah yang merupakan dasar-dasar dalam melaksanakan proses pembelajaran sebagai berikut.
1)     Motivasi, kematangan dan kesiapan diperlukan dalam proses belajar mengajar, tanpa motivasi dalam PBM, terutama motivasi intriksik dan tanpa kematangan organ-organ biologis dan fisikologis, upaya belajar sukar berklangsung dan PBM tidak akan efektif dan efisien.
2)     Pembentukan persepsi yang tepat terhadap rangsangan sensoris merupakan dasar dalam proses belajar mengajar yang tepat. Bila interpretasi dan persepsi individu terhadap objek, benda, situasi, rangsangan di sekitarnya keliru atau salah, terutama pada tahap-tahap awal belajar, maka belajar selanjutnya merupakan akumulasi kesalahan- kesalahan di atas.
3)     Kemajuan dan keberhasilan proses belajar mengajar ditentukan oleh antara lain bakat khusus, tarap kecerdasan, minat serta tingkat kematangan dan jenis, sifat dan intensitas dari bahan yang dipelajari.
4)     Proses belajar mengajar dapat dangkal, luas, dan mendalam.
5)     Feedback ‘umpan balik’ atau pengetahuan akan hasil-hasil proses belajar mengajar yang lampau dapat merangsang atau sebaliknya menghambat kemajuan proses belajar mengajar berikutnya. Sukses di masa lampau atau salah satu mata pelajaran cenderung untuk diikuti dengan sukses sekarang dan masa yang akan datang serta pada mata pelajaran lainnya.
6)     Proses belajar mengajar dalam suatu situasi dapat ditransferkan untuk pemanfaatan belajar situasi atau bidang lainnya, dikenal dengan transfer of learning dan transfer of training.
7)     Response yang kacau, kaku dan acak-acakan serta proses belajar mengajar secara trial and error memadai tahap-tahap awal proses belajar mengajar yang amburadul.
8)     Ulangan, latihan akan memperkuat hasil belajar, sebaliknya latihan, ulangan dan penggunaan, maka hasil belajar akan melemah atau hilang.

9)     Trial and error, respose tak beraturan dan jamak, umumnya menandai tahap-tahap awal beberapa mata pelajaran.
10)  Proses belajar mengajar dapat bersifat internasional artinya belajar tersebut direncanakan, terorganisir, bahan pelayanan tersusun secara sistematis dan dibimbing guru atau petugas yang terlatih untuk kepentingan itu. Belajar ini akan menjadi sangat efektif jika didukung oleh minat, motivasi yang kuat dari peserta didik/siswa.
11)  Transfer dalam belajar dapat positif atau negatif. Transfer positif terjadi bila belajar dipermudah atau dibantu oleh belajar mendahului, sedangkan transfer negatif terjadi bila apa yang telah dipelajari sebelumnya menghambat belajar selanjutnya.
12)  Proses belajar mengajar berlangsung dari yang sederhana meningkat kepada yang kompleks, dari yang konret kepada yang abstrak, dari yang khusus ke umum, dari yang mudah ke yang sulit, dari induksi ke deduksi.
13)  Proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan kurang disadari juga secara insidentil. Sejumlah sikap minat, reaksi-reaksi emosional individu dan diperlambangkan secara tidak atau kurang disadari, pengetahuan tentang bahasa umumnya dimiliki dengan tidak disengaja, mengenal dan mengingat kembali suatu pengetahuan, objek, situasi yang pernah dilihat, dibaca, didengar banyak terjadi karena belajar yang tidak disengaja.
14)  Proses belajar mengajar yang disertai oleh pemahaman yang jelas tentang tujuan yang mudah dicapai akan menjadi lebih efektif daripada belajar tanpa tujuan dari arah yang jelas.

15)  Dalam proses belajar mengajar dapat meliputi belajar informasi (pengetahuan), belajar konsep, belajar prinsip, belajar sikap, dan belajar keterampilan.
16)  Insight timbul jika individu berhasil menemukan hubungan antara bagian-bagian atau unsure-unsur dari suatu keseluruhan konfigurasi. Kemudian insight dapat juga timbul secara tiba-tiba atau pun secara berangsur-angsur.
17)  Proses belajar mengajar bersifat individual, artinya tiap individu memperlihatkan perbedaan dalam kecepatan belajar, tingkat dan batas-batas belajar dalam berbagai bidang.
18)  Proses belajar mengajar dapat terjadi tanpa diikuti oleh gejala-gejala lahiriah dari perubahan tingkah laku individu.

5.  PROSEDUR PEMBELAJARAN
     Dalam buku “Proses Belajar Mengajar Yang Efektif” yang dikemukakan oleh Rusyan Tabrani: Prosedur pembelajaran/proses belajar mengajar adalah langkah yang harus menggambarkan urutan-urutan pengajaran mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi. Untuk keberhasilan pengajaran, guru harus memahami semua langkah yang harus ditempuhnya sebaik mungkin. Secara garis besar langkah tersebut antara lain:
1)      Merumuskan tujuan pembelajan khusus.
2)      Mengembangkan alat evaluasi.
3)      Menetapkan urutan-urutan pengajaran.
4)      Memilih dan menggunakan media
5)      Memasukan komponen-komponen pengajaran ke dalam format satuan pelajaran.
Prosedur pembelajaran dalam pengelolaan kelas merupakan usaha peserta didik dalam tujuan-tujuannya untuk meraih pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Agar proses tersebut berjalan baik, perlu ditunjang kondisi kelas yang baik. Usaha untuk menciptakan kondisi kelas yang sempurna adalah dengan pengelolaan kelas yang teratur. Jika usaha pembelajaran itu tidak ditunjang oleh kondisi belajar yang baik, maka proses pembelajaran pun tidak berjalan efektif dan efisien. Proses pembelajaran itu akan bermakna sebagai usaha untuk mencapai tujuan instruksional, sedangkan pengelolaan kelas lebih bearti mewujudkan kondisi belajar sebagai sarana penunjang keberhasilan belajar. Pengaturan tempat duduk serta penempatan alat peraga dan fasilitas lainnya merupakan usaha untuk menciptakan kondisi belajar yang baik agar proses pembelajaran itu efektif dan efisien. Proses pembelajaran dan pengelolaan kelas adalah dua hal yang berbeda namun memiliki peran yang sama dalam penyelenggaraannya. Untuk mewujudkan pengelolaan kelas yang baik, diperlukan perencanaan yang matang, penataan prosedur dan sumber belajar serta lingkungan yang memadai.
   Pembelajaran yang baik adalah proses belajar mengajar yang membuahkan hasil yang diharapkan. Hasil belajar yang diharapkan ini berupa pengetahuan yang otentikyang bersatu raga pada diri seseorang dan mudah diaplikasikan dalam kehidupan. Kemudahan mempelajarai pengetahuan itu akan tercapai apabila pembelajaran disesuaikan dengan minat, perhatian, dan kebutuhan peserta didik.
      Secara langsung, proses belajar mengajar dijalin oleh kontak langsung antara guru dengan siswa dan dilakukan secara terus menerus di dalam kelompok. Kontak dalam kelompok ini memberi peluang kepada guru dan siswa untuk berkomunikasi secara akrab, memungkinkan terselenggaranya usaha pemantauan kemajuan belajar siswa sepenuhnya, dapat melihat kesulitan-kesulitan yang dialaminya, dapat mengajukan pendapatnya di hadapan guru dan rekan-rekannya dengan berani.
      Menilai kemajuan peserta didik/siswa merupakan salah satu aspek pengelolaan kelas untuk melihat kemajuan siswa. Agar penilaian berlangsung dengan baik, perlu dirancang sebelumnya. Perancangan meliputi tujuan penilaian, materi penilaian serta prosedur dan alat penilaian. Penilaian yang baik ialah jika syarat validitas dan reliabilitasnya diperhatikan. Validitas ialah pengukuran apa yang hendak diukur, artinya alat penilaian relevan dengan tujuan proses belajar mengajar. Reliabilitas ialah dapat dipercaya, artinya hasil tes itu bersifat tetap walau diteskan kepada siapapun yang telah mengikuti pelajaran. Penilaian harus berlangsung terus menerus, caranya bisa formal atau informal. Cara formal antara lain dengan menyajikan tes buatan guru, observasi, wawancara, dan sosiometri. Cara informal dengan melihat catatan harian peserta didik  tatap muka setiap pertemuan, Rusyan Tabrani (1993: 119,171,173,180).

6.  MODEL PEMBELAJARAN LESSON STUDY
      Lesson Study, tentu saja bukan satu-satunya model pembelajaran yang harus terus menerus guru lakukan, namun masih banyak model pembelajaran yang bisa divariasikan oleh guru. Guru sebaiknya mengenal, menguasai, dan mencoba melakukan berbagai macam model pembelajaran seperti Examples non Examples, Picture and Picture, Numbered Heads Together, Cooprative Script, Numbered heads Structure, Students Teams Achievement Divisions, Jigsaw, Problem Base Introduction, Articulation, Mind Mapping, Make- a match, Think Pair and Share, Debate, Role Playing, Group Investigation, Talking Stik, Couple Change, Snowball Throwing, Student, Facilitator and Explaining, Course review Horay, Demonstration, Explicit Intruction, Cooperative Integreted, Reading and Composition, Inside-Outside-Circle, Word ...., Word Square, Take and Give, Scramble, Consepsentense, Keliling Kelompok, Completsentense, Time Token Arends Pair Cheks Spencer Kagen 1993, Two Stay Two Stray.
       Dari sekian banyak model pembelajaran yang perlu diketahui, karena tema seminar ini ada kaitan Lesson Study, di bawah ini adalah paparan mengenai Lesson Study.
Kita pasti bertanya-tanya “Apa sih ...yang dimaksud dengan Lesson Study?”
Lesson Study adalah model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkesinambungan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Dengan demikian, Lesson Study bukan merupakan metoda atau strategi pembelajaran, tetapi kegiatan Lesson Study dapat menerapkan berbagai metoda/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi , kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru.

Mengapa disebut Lesson Study?
Lesson Study mendukung UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen untuk meningkatkan kompetensi-kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial.
Lesson Study mendukung implementasi PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19: “Proses Pembelajaran harus interaktif , inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi untuk aktif, kreatif, mandiri, sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik & psikologis peserta didik.”
Tidak ada pembelajaran yang sempurna, sehingga akan ada celah untuk melakukan perbaikan dan inovasi.
Lesson Study membuat guru menjadi lebih terbuka menerima masukan guna perbaikan pembelajaran.
Lesson Study dapat meningkatkan budaya akademik, kemampuan kolaborasi, kemampuan melakukan evaluasi diri serta dapat memotivasi guru untuk melakukan inovasi pembelajaran. Selain itu, melalui lesson study guru dimungkinkan menghasilkan buku ajar dan karya ilmiah berbasis penelitian kelas.
Berasal dari mana lesson study itu ?
Lesson Study berasal dari Jepang, dan berkembang sejak tahun 1900an. Melalui kegiatan tersebut, guru-guru di Jepang mulai mengkaji pembelajaran melalui perencanaan dan observasi bersama yang bertujuan untuk memotivasi siswanya aktif belajar mandiri. Lesson Study merupakan terjemahan langsung dari bahasa Jepang 授業研究 jugyoukenkyuu’ yang berasal dari 2 kata jugyou yang berarti lesson atau pembelajaran, dan kenkyuu yang berarti  study atau research atau pengkajian. Dengan demikian lesson study merupakan study atau penelitian atau pengkajian terhadap pembelajaran.
Lesson Study dapat diselenggarakan oleh kelompok  guru-guru di suatu distrik atau diselenggarakan oleh kelompok sebidang , semacam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di Indonesia. Kelompok guru dari beberapa sekolah berkumpul berkumpul untuk melaksanakan lesson study. Lesson Study yang sangat populer di Jepang adalah lesson study yang diselenggarakan oleh suatu sekolah  dan dikenal sebagai 校内研修 kounaikenshuu’ yang berkembang 1960an. Konaikenshuu juga dibentuk oleh dua kata yaitu kounai yang berarti di sekolah dan kata kenshuu yang bearti training. Jadi istilah kounai kenshuu berarti school based inservice training atau in-service training atau in-service  within the school atau in-house workshop. Pada tahun 1970an pemerintah Jepang merasakan manfaat dari kounaikeshuu dan sejak itu pemerintah Jepang mendorong sekolah-sekolah untuk melaksanakan kounai kenshuu dengan menyediakan  dukungan biaya dan insentif bagi sekolah yang melaksanakan kounai kenshuu. Kebanyakan sekolah dasar dan sekolah menengah  di Jepang melaksanakan kounai kenshuu. Walaupun pemerintah Jepang menyediakan dukungan biaya bagi sekolah-sekolah untuk melaksanakan kounaikenshuu, tetapi kebanyakan sekolah melaksanakan kounaikenshuu secara sukarela karena sekolah merasakan manfaatnya.
Alasan mengapa lesson study menjadi populer di Jepang? karena lesson study sangat membantu bagi guru-guru. Walaupun lessson study menyita waktu tetapi karena guru-guru memperolah manfaat yang sangat besar berupa informasi berharga untuk meningkatkan keterampilan mengajar.
Di Indonesia berkembang melalui IMSTEP ( Indonesia Mathematics & Science Teacher Education Project ), yang diimplementasikan sejak Oktober 1998 di tiga IKIP yaitu IKIP Bandung (UPI sekarang), IKIP Yogyakarta (UNY sekarang), IKIP Malang (UNM sekarang), bekerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency). Tujuannya adalah meningkatkan mutu pendidikan matematika dan IPA di Indonesia. seperti yang telah dilaksanakan di perguruan tinggi tersebut.
Guru dan dosen telah mampu mengembangkan teaching materials yang dibuat dari bahan-bahan di sekitar kehidupan siswa dan melakukan pembelajaran berbasis hand-on activity dan daily life untuk menjelaskan konsep matematika dan IPA sehingga siswa-siswa menjadi senang belajar matematika dan IPA. Guru-guru yang terlibat piloting menjadi termotivasi untuk melakukan inovasi pembelajaran. Kelemahannya, guru yang tidak terlibat piloting sangat terbatas pada satu guru per bidang studi per sekolah sehingga diseminasi pengalaman berharga dalam mengembangkan inovasi pembelejaran pun kurang berjalan baik walaupun dalam satu sekolah, apalagi kepala sekolah  yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan piloting.
Lesson study sangat bermanfaat untuk meningkatkan keprofesonalan guru. Keberhasilan Jepang dalam pendidikan membuat pakar pendidikan di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa serta Australia belajar lesson study dari Jepang. Kalau negara-negara maju belajar dari Jepang, akan tetapi melalui pengkajian dan ujicoba di sekolah-sekolah piloting sejak tahun 2001 melalui Program kerjasama Teknis IMSTEP-JICA di UPI, UNY, dan UNM. Untuk memperoleh model sosialisasi lesson study pada tingkat yang lebih luas, saat ini sedang dilakukan piloting lesson study di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Pasuruan.
Lesson study dilaksanakan dalam 3 tahapan yaitu Plan (merencanakan), Do (melaksanakan), See (merefleksi) yang berkelanjutan. Dengan kata lain lesson study merupakan suatu cara peningkatan mutu pendidikan yang tak pernah berakhir (continous improvement). Berikut adalah Skema kegiatan lesson study.



       Pertama, peningkatan mutu pendidikan melalui lesson study dimulai dari tahap perencanaan (Plan) yang bertujuan untuk merancang pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Perencanaan yang baik tidak dilakukan sendirian tetapi dilakukan bersama, beberapa guru dapat berkolaborasi untuk memperkaya ide-ide. Perencanaan dari analisis permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran. Permasalahan dapat berupa materi bidang studi, bagaimana menjelaskan suatu konsep. Permasalahan dapat juga berupa pedagogi tentang metoda pembelajaran yang tepat agar pembelajaran lebih efektif dan efisien atau permasalahan fasilitas, bagaimana mensiasati kekurangan fasilitas pembelajaran. Selanjutnya guru bersama-sama mencari solusi terhadap permasalahan yang dituangkan dalam rancangan pembelajaran atau lesson plan, teaching materials berupa media pembelajaran dan lembar kerja siswa serta metoda evaluasi. Teaching materials yang dirancang perlu diujicoba sebelum diterapkan di dalam kelas. Kegiatan perencanaan memerlukan beberapa kali pertemuan (2 – 3 kali) agar lebih mantap.
        Kedua, adalah Do (pelaksanaan) pembelajaran untuk menerapkan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam perencanaan. Dalam perencanaan telah disepakati siapa guru yang akan mengimplementasikan pembelajaran da sekolah yang akan menjadi tuan rumah. Langkah ini bertujuan untuk mengujicoba efektifitas model pembelejaran yang telah dirancang.
        Sebelum pembelajaran dimulai sebaiknya melakukan briefieng dengan para pengamat atau observer yang akan turut mengamati pembelajaran tersebut. Pengamat selama pembelajarab berlangsung tidak dibenarkan mengganggu pembelajaran tetapi turut mengamati kegiatan siswa.
       Ketiga, dalam kegiatan lesson study adalah refleksi (See). Setelah selesai pembelajaran langsung melakukan diskusi antara guru dan pengamat yang dipandu oleh kepala sekolah atau personel yang ditunjuk untuk membahas pembelajaran Guru mengawali diskusi dengan menyampaikan kesan-kesan dalam melaksanakan pembelajaran. Selanjutnya pengamat diminta komentar dan lesson learnt dari pembelajaran terutama berkenaan dengan aktivitas siswa. Tentu saja, kritik dan saran untuk guru disampaikan secara bijak demi perbaikan pembelajaran. Sebaliknya, guru harus dapat menerima masukan dari pengamat untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Berdasarkan masukan tersebut dapat dirancang untuk pembelajaran berikutnya. Pada prinsipnya, semua orang yang terlibat dalam kegiatan lesson study harus memperoleh lesson learnt, dengan demikian kita membangun komunitas belajar melalui lesson study
       Jadi interaksi yang yang dikembangkan dalam suatu kegiatan seperti diskusi, ternyata dapat secara konstruktif menunjang proses berkembangnya pengetahuan pada diri seseorang. Lesson study sebagai suatu kegiatan yang diawali pengembangan perencanaan secara bersama, proses pembelajaran terbuka dengan melibatkan observer,  dan refleksi atau diskusi pasca pembelajaran, merupakan suatu kegiatan yang sangat potensial untuk menciptakan proses interaksi antar berbagai pihak yaitu guru, dosen, kepala sekolah, dan pejabat dinas pendidikan. Melalui interaksi yang dapat terjadi dalam berbagai tahapan kegiatan, maka sangat dimungkinkan terjadinya sharing pengetahuan serta tacit knowledge yang diperoleh melalui pengamatan terhadap pembelajaran. Dengan berkembangnya, pengetahuan secara konstruktif, maka selain masing-masing pihak yang terkait memperoleh input dan umpan balik, sebagai tindak lanjutnya tidak mustahil muncul berbagai inovasi pembelajaran.

       Persiapan lesson study antara lain meliputi kegiatan identifikasi masalah pembelajaran, analisis masalah pembelajaran tersebut dari sisi materi ajar, teaching material, serta alternatif strategi pembelajaran yang mungkin diterapkan; dan penyusunan rencana pembelajaran .
       Sebelum mencoba mengimplementasikan lesson study ada bainya memahami dulu aspek-aspek penting yang menjadi kekuatan utama dalam strategi lesson study.  Berikut adalah gambaran umum dan tujuan tentang lesson study.
A.  Gambaran Umum Lesson Study:
1.      Mempertimbangkan tujuan pembelajaran dan perkembangan siswa, serta merencanakan pembelajaran untuk mengumpulkan data.
2.      Mengobservasi pembelajaran dalam rangka Lesson Study.
3.      menggunakan data hasil observasi untuk melakukan refleksi tentang pembelajaran secara mendalam dan lebih luas.
4.      Melakukan perencanaan ulang dengan topik yang sama untuk melakukan open lesson pada kelas berbeda.

B.  Tujuan Utama Lesson Study
1.      Meningkatkan pengetahuan tentang materi ajar.
2.      Meningkatkan pengetahuan tentang pembelajaran.
3.      Meningkatkan kemampuan guru untuk mengobservasi aktifitas belajar
4.      Menguatkan hubungan kolegalitas.

contoh PTK CTL

BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Reformasi pendidikan di Indonesia telah bergulir sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang di dalamnya tercantum sektor pendidikan. Dalam lingkup internasional ditandai dengan derasnya arus informasi (dalam konteks ini, ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya) yang mengglobal, yang harus diantisipasi dalam bidang pendidikan. Kecenderungan pendidikan dalam skala global, mengarah pada kecakapan hidup yang dicanangkan oleh UNESCO sebagai empat pilar pendidikan, yaitu: 1.learning to know 2.learning to do 3.learning to be 4.learning to live together.Teori perkembangan peserta didik dan pembelajaran pun berkembang sejalan dengan kecakapan hidup tersebut, yakni Teori  Kontruktivisme, Teori Contextual Teaching & Learning dan sebagainya. Sejalan dengan otonomi daerah, Departemen Pendidikan Nasional mulai berbenah diri, antara lain dengan dirancang ulang visi, misi, tujuan dan strategi pendidikan. Salah satu kebijakan dasar yang menyentuh sekolah adalah dikembangkan MPMBS (Management Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Paradigma pendidikan bergeser dari schooling (sekolah) ke learning (pembelajaran). Salah satu ciri schooling adalah mengutamakan target penyelesaian kurikulum dan menghasilkan tamatan (selesai sekolah), sedangkan ciri belajar (learning) adalah mengutamakan ketuntasan belajar yang menghasilkan lulusan yang kompeten/cakap. (Soleh, 2003)
Berangkat dari visi, misi, tujuan dan strategi pendidikan, SDN Cilincing 02 Pagi, berupaya mengefektifkan pembelajaran IPA dengan metode CTL (Contextual Teaching and Learning) menuju ke arah model pembelajaran yang lebih baik mengikuti perkembangan pendidikan seperti yang dicanangkan oleh UNESCO. Dalam proses belajar mengajar menurut kurikulum 1975  penekanan belajar mengajar menggunakan metode ceramah/klasikal (Kusdinar,1992), sedangkan dalam pola pendidikan modern peserta didik dipandang sebagai pusat terjadinya proses belajar (Alipandie,1984). Peserta didik sebagai subjek yang berkembang melalui pengalaman belajar. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan motivator belajar. Tugas guru adalah membantu dan memberikan kemudahan agar peserta didik mendapatkan pengalaman belajar sesuai kebutuhan dan kemampuannya sehingga terjadi suatu interaksi aktif.
Perpaduan antara kegiatan belajar pada peserta didik dalam kelas  dapat direalisasikan dalam jenis metode yang akan digunakan. Kecakapan seorang guru dalam memilih dan menentukan yang tepat menjadi syarat dalam merancang strategi mengajar sesuai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dalam kurikulum, sehingga dapat dimengerti betapa pentingnya penggunaan metode yang tepat sebagai alat pencapaian tujuan mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi dengan penerapan CTL dan Life skill (Sumartini, 2003). UUD 1945 menginginkan agar setiap warga negara Republik Indonesia mendapat kesempatan belajar seluas-luasnya, seperti dikemukakan dalam komisi Pembaharuan Nasional agar pendidikan di Indonesia bersifat semesta atau menyeluruh dan terpadu. Artinya pendidikan di Indonesia dapat dinikmati oleh semua warga negara. Ada mobilitas antara pendidikan formal dan non formal sehingga terbuka pendidikan seumur hidup (Long Life Education).
Dalam pembelajaran IPA dengan model CTL, diharapkan peserta didik memiliki pengalaman baru. Hal ini karena peserta didik mendapat pengalaman praktis yang dapat membentuk perasaan dan keinginan peserta didik terhadap fenomena alam sekitar. Dengan adanya penemuan oleh pengalaman sendiri diharapkan peserta didik mampu memahami dan menjabarkan apa yang telah dipelajari dan dilaksanakan sesuai dengan konsep-konsep yang telah tercakup di dalamnya.
Dari hasil ulangan harian terbukti bahwa nilai peserta didik masih dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Nilai rata-rata 60 yang tuntas dalam belajarnya 32 %. Aktifitas peserta didik sangat rendah dengan rata-rata 48.23 karena sebagian peserta didik banyak yang tidak mengerti serta pembelajaran IPA dianggap pelajaran yang tidak dapat mengembangkan potensi anak .

B.     Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas, masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1.      Apa yang disebut efektivitas belajar ?
2.       Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektivitas belajar ?
3.      Model pendekatan apa sajakah yang mempengaruhi efektivitas belajar peserta didik ?
4.      Apakah metode CTL meningkatkan efektivitas belajar peserta didik ?


C.    Pembatasan Masalah
Karena terbatasnya waktu dan kemampuan, maka masalah yang akan dibahas adalah metode CTL dan peningkatan efektivitas pembelajaran IPA.
D.    Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah dengan metode  CTL dapat meningkatkan efektivitas belajar IPA peserta didik ?
E.     Tujuan penelitian
a.       Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini untuk mengetahui antara metode CTL (Contextual Teaching and Learning) dan efektivitas pembelajaran.
b. Sebagai bahan tambahan wawasan para guru dalam pelaksanaan KBM dengan metode CTL.
A.      Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian tindakan kelas ini dalah untuk meningkatkan proses belajar, yang akhirnya dapat meningkatkan pemahaman belajar, keaktifan dan hasil belajar peserta didik. Adapun manfaat dalam penelitian ini dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu :
1.      Bagi Peserta Didik
Membuat peserta didik lebih aktif dalam mengerjakan tugas mandiri atau kelompok, serta lebih berani menggunakan ide, pendapat, pertanyaan dan saran dalam mengikuti proses belajar mengajar sehingga lebih memudahkan peserta didik dalam mempelajari IPA.


2.      Bagi guru
Membantu memberikan informasi dalam mengembangkan strategi belajar mengajar melalui model pembelajaran CTL dan memiliki gambaran tentang pembelajaran IPA yang efektif, serta dapat meningkatkan kemampuan guru untuk memecahkan permasalahan yang muncul dari peserta didik.
3.      Bagi peneliti
Menambah wawasan tentang model pembelajaran CTL sehingga penulis dapat menerapkan metode pembelajaran yang tepat dalam proses belajar mengajar.





















BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.      Kajian Teori
  1. Proses Belajar Mengajar (PBM)
PBM merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan, dalam PBM ada kegiatan yang integral (utuh terpadu) antara peserta didik yang belajar dan guru yang mengajar dalam kesatuan kegiatan ini terjadi interaksi resiprokal yakni hubungan antara guru dan peserta didik dalam suasana yang bersifat pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Usman (1991) yang menyatakan bahwa PBM merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan peserta didik atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu .
Usman (1991) menyatakan bahwa interaksi timbal balik antara guru dan peserta didik adalah syarat utama bagi berlangsungnya PBM. Interaksi edukatif antara guru dan peserta didik berperan aktif mengolah pesan informasi atau materi pelajaran, hingga memperoleh kebermaknaan dari setiap perbuatan masing-masing. Guru berusaha menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya pengalaman belajar pada diri peserta didik, dengan mengerahkan segala sumber belajar, dan menggunakan berbagai strategi mengajar yang tepat dan peserta didik berupaya mengembangkan dirinya melalui kegiatan belajar untuk meraih hasil yang optimal.
Proses, menurut Hamalik (Dahlia,1999), merupakan urutan kegiatan yang berlangsung secara berkesinambungan, bertahap, bergilir, dan terpadu yang secara keseluruhan mewarnai dan memberi karakteristik terhadap belajar mengajar. Proses dalam pengertian ini merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam PBM di mana satu sama lain saling berhubungan dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Belajar menurut Surya (1995) bahwa Belajar adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Mengajar pada hakikatnya adalah suatu proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar peserta didik sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong peserta didik melakukan proses belajar (Sudjana, 2000). Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada peserta didik dalam melakukan proses belajar, sehingga dapat dikatakan bahwa mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan pengalaman moral. Berhasilnya pendidikan pada peserta didik sangat tergantung pada pertanggung jawaban guru dalam melaksanakan tugasnya.
  1. Strategi Mengajar
Seorang guru untuk menentukan kegiatan belajar peserta didik perlu menggunakan strategi mengajar yang efektif. Salah satu metode tersebut adalah metode CTL (Blanchard, 2001). Menurutnya bahwa metode CTL mendorong peserta didik belajar dari sesama teman dan belajar bersama salah satu landasan teoritik pendidikan IPA modern termasuk CTL yaitu teori pembelajaran kontruktivis (Nur, 2001). Metode ini pada dasarnya menekankan pentingnya peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Pendekatan kontruktivis modern tersebut berdasarkan pada teori vygotsky, yang menekankan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran yang berbasis kegiatan dan penemuan. Disamping itu, interaksi yang dilakukan guru hendaklah mengacu pada prinsip-prinsip pembelajaran CTL.
  1. Contextual teaching and Learning
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membuat guru mengaitkan kontek mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan tenaga kerja (U.S. Departement Of Education and the National School-to-Work office yang dikutip oleh Blanchard, 2001).
4. Belajar Mengajar dengan metode CTL
Penerapan metode interaksi belajar mengajar dalam CTL harus mengacu pada prinsip-prinsip pembelajaran CTL, yaitu inquiri, questening, learning community, kontruktivisme dan pemodelan. Metode adalah cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Hal ini berlaku bagi guru (metode mengajar) maupun bagi murid (metode belajar). Makin baik metode itu makin efektif pula pencapaian tujuan. Untuk menetapkan apakah sebuah metode dapat disebut  baik, diperlukan patokan yang bersumber dari  beberapa faktor. Faktor utama pertama yang menentukan adalah tujuan yang akan dicapai. Khusus mengenai metode interaksi dalam pengajaran di dalam kelas selain faktor tujuan, juga faktor siswa, faktor situasi, fasilitas, dan faktor guru ikut menentukan efektif tidaknya suatu metode. Metode interaksi yang dapat digunakan  dalam pembelajaran CTL yakni: metode, ceramah, metode diskusi, metode demonstrasi, metode eksperimen, metode tanya jawab dan kerja kelompok (Depdiknas, 2002).
Pembelajaran kontekstual (CTL) bukanlah suatu konsep baru, karena Dewey (1916) telah mengusulkan suatu kurikulum dan metodologi pengajaran yang dikaitkan dengan minat dan pengalaman peserta didik.
Menurut pandangan CTL, sebuah proses pembelajaran seharusnya:
a)  Menekankan pada pemecahan masalah (berbasis inquiri).
b) Menyadari kebutuhan akan pengajaran dan pembelajaran yang terjadi                dalam berbagai konteks seperti di rumah, masyarakat, dan pekerjaan.
c)   Mengarahkan peserta didik agar dapat memonitor dan mengarahkan pembelajaran mereka sendiri sehingga menjadi pembelajaran mandiri.
d)     Mengaitkan pengajaran pada konteks kehidupan peserta didik yang berbeda – beda.
e)      Mendorong peserta didik untuk belajar dari sesama teman dan belajar bersama.
f)       Menetapkan penilaian authentic (Blanchard, 2001).
Dapat dilihat bahwa pandangan CTL di atas merupakan gabungan dari pandangan-pandangan sebelumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa CTL merupakan  praktek pengajaran yang baik. (Nur, 2001). Pengajaran kontekstual adalah pengajaran pelajaran yang memungkinkan peserta didik TK sampai dengan SMA untuk menguatkan, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan (Universitas of Washington, 2001). CTL menekankan pada berpikir tingkat lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin serta pengumpulan dan data dari berbagai sumber dan pandangan.
Disamping itu telah diidentifikasi enam unsur kunci CTL seperti berikut ini (University of Washington, 2001).
a.   Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penghargaan pribadi  peserta didik bahwa ia berkepentingan terhadap konteks yang harus dipelajari. Pembelajaran dipersepsi dengan hidup mereka.
b.   Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk melihat bagaimana apa yang di pelajari di terapkan dalam tatanan – tatanan lain dan fungsi – fungsi pada masa sekarang dan akan datang.
c.   Berpikir tingkat lebih tinggi: peserta didik dilatih untuk menggunakan berpikir    kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu, atau memecahkan suatu masalah.
  1. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar lokal, Negara bagian, nasional, asosiasi, dan / atau industri.
  2. Responsif terhadap budaya: Pendidik harus memahami dan menghormati nilai – nilai, keyakinan – keyakinan dan kebiasaan – kebiasaan peserta didik, sesama rekan pendidik dan masyarakat tempat mereka mendidik. Berbagai macam budaya perorangan  dan kelompok mempengaruhi pembelajaran, budaya-budaya ini, dan hubungan antar budaya-budaya ini, mempengaruhi bagaimana pendidik membelajarkan peserta didiknya. Paling tidak empat perspektif seharusnya dipertimbangkan: individu peserta didik, kelompok peserta didik  (seperti tim atau keseluruhan kelas), tatanan sekolah, dan tatanan masyarakat yang lebih besar.
  3. Penilaian autentik : penggunaan berbagai macam strategi penilaian yang secara valid mencerminkan hasil belajar sesungguhnya yang diharapkan dari hasil belajar sesungguhnya yang diharapkan dari peserta didik. Strategi – strategi ini dapat meliputi penilaian atas proyek dan kegiatan peserta didik, penggunaan portofolio, rubrik, dan panduan.
Pengamatan disamping memberikan kesempatan kepada peserta didik ikut aktif berperan serta dalam menilai pembelajaran mereka sendiri dan penggunaan tiap - tiap penilaian untuk memperbaiki keterampilan menulis mereka. Adapun The Washington Stok Consortium for Contextual Teaching and Learning (2001), telah mengidentifikasi tujuh unsur kunci CTL, seperti berikut:
  1. Inquiri ( inquiry )
1. Diawali dengan kegiatan pengamatan dalam rangka untuk memahami suatu konsep.
2. Siklus yang terdiri dari kegiatan mengamati, bertanya,  menganalisis, merumuskan teori, baik secara individu maupun bersama – sama dengan teman - temannya.
3. Mengembangkan dan sekaligus menggunakan keterampilan berpikir kritis.
  1. Bertanya ( questioning )
1. Digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir peserta didik.
2.    Digunakan oleh peserta didik selama melakukan kegiatan berbasis inquiri.

  1. Kontruktivisme ( contructivisme )
1. Membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman - pengalaman baru berdasarkan pada pengalaman awal.
2. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman - pengalaman belajar bermakna.
  1. Masyarakat Belajar ( learning community )
1.Berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain.
2.Bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran adalah lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri.
  1. Penilaian autentik ( authentic assessment ).
1.Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.
2.Mempersyaratkan penerapan pengetahuan atau keterampilan .
3.Penilaian produk atau kinerja.
4.Tugas – tugas yang kontekstual dan relevan.
5.Proses dan produk keduanya dapat diukur.
  1. Refleksi ( reflection )
1.Cara – cara berpikir tentang apa – apa yang telah dipelajari.
2.Merevisi dan merespon kepada kejadian, aktivitas, dan pengalaman.
3.Mencatat apa yang telah dipelajari, bagaimana peserta didik merasakan ide ide baru.
4.Dapat berupa berbagai bentuk: jurnal, diskusi, maupun hasil karya / seni.
  1. Pemodelan ( modeling )
1.Berpikir tentang proses pembelajaran sendiri.
2.Mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para peserta didik untuk belajar.
3.Melakukan apa yang guru inginkan agar peserta didik melakukan.

B.     Kajian Hasil Penelitian
Belajar merupakan satu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman, perubahan tingkah laku, dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi ada juga kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang lebih buruk. Dalam proses belajar mengajar, interaksi aktif yang terjadi di kelas melibatkan individu yang memiliki sifat berbeda – beda, karena perbedaan latar belakang itulah perbedaan dapat dilihat pada kecepatan menyerap pelajaran maupun penyelesaian masalah pada suatu pelajaran.
Selain sebagai mahluk hidup, peserta didik juga merupakan mahluk sosial yang memiliki sifat ketergantungan terhadap peserta didik lain, sehingga mereka saling membutuhkan, dan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan berkelompok, bersosialisasi, saling berdiskusi, bekerjasama dan saling melengkapi kekurangan masing – masing. Dalam pembelajaran berkelompok, hubungan antara teman sebaya tidak bisa dianggap remeh, pengaruh teman sebaya itu lebih mudah diserap dan diterima sehingga peserta didik termotivasi untuk belajar lebih baik.
Metode pembelajaran IPA merupakan alternatif pengajaran yang diharapkan dapat menciptakan suasana baru dalam belajar. Para pengajaran yang diharapkan dapat menciptakan suasana baru dalam belajar. Para peserta didik secara individu membangun kepercayaan diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan masalah dalam pelajaran IPA yang banyak dialami peserta didik. Dengan menonjolkan interaksi dalam belajar metode CTL ini dapat membuat peserta didik menerima peserta didik lain yang kemampuan dan latar belakangnya berbeda, juga membantu mengasah kemampuan berpikir peserta didik dengan saling berdiskusi, bekerjasama dan berlatih. Selain itu pembelajaran dengan metode CTL  juga akan melatih peserta didik untuk fokus pada satu tema hingga selesai, mendengarkan dan menghargai pendapat – pendapat orang lain dan merangkum  pendapat atau temuan dalam bentuk tulisan, juga akan melatih peserta didik untuk saling memberi dan menerima, peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap pelajaran dapat memberikan tutorial sebaya kepada teman kelompoknya yang berkemampuan agak rendah, sehingga akan memperoleh pemahaman yang lebih baik dari sebelumnya.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


A.      Setting Lokasi dan Subyek Penelitian
1.      Setting Lokasi Penelitian
Setting dalam penelitian ini meliputi : tempat penelitian, waktu penelitiaan dan siklus Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai berikut :
a.    Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SDN Cilincing 02 Pagi Jakarta Utara pada kelas V Semester I Tahun pelajaran 2008 – 2009 dengan pokok bahasan Penyesuaian Makhluk Hidup . Sebagi subjek dalam penelitian ini adalah kelas V dengan jumlah peserta didik sebanyak 37 orang, yang terdiri dari 19  perempuan dan 18 laki-laki.
b.    Waktu Penelitian
Penelitian ini diadakan pada semester ganjil tahun pelajaran 2008 – 2009 dari bulan Juli 2008 sampai dengan bulan Oktober 2008. Penentuan waktu penelitian mengacu kepada kalender akademik sekolah, karena dalam Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) memerlukan beberapa siklus yang membutuhkan proses belajar mengajar yang efektif di sekolah.

Tabel 1 : Jadwal Kegiatan Penelitian



















NO

KEGIATAN

Juli
Agustus
September
Oktober


1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4


1
Mengidentifikasi Masalah


 v















2
Menyusun Program Penelitian


 v















3
Membuat Proposal Penelitian



v














4
Pelaksanaan tindakan 1
(Pertemuan 1 siklus 1)




 v













5
Pelaksanaan tindakan 1
(Pertemuan 2 siklus 1)





 v












6
Refleksi Siklus 1






 v











7
Pelaksanaan tindakan 2
(Pertemuan 1 siklus 2)







v










8
Pelaksanaan tindakan 2
(Pertemuan 2 siklus 2)








 v









9
Refleksi Siklus  2









 v








10
Pengelohan data hasil penelitian
















11
Pembuatan laporan hasil penelitian












v
v




12
Pelaporan hasil penelitian













v
v



13
Pengesahan hasil laporan PTK























































  1. Prosedur Penelitian
            Penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam dua siklus. Dalam setiap siklus dilakukan suatu tindakan diwujudkan dalam kegiatan belajar mengajar satu kali pertemuan yang lamanya 40 menit.
            Setiap siklus penelitian terdiri dari perencanaan tindakan observasi dan refleksi, secara garis besar kegiatan yang dilakukan pada tiap langkah penelitian adalah sebagai berikut :



Ada empat kegiatan utama pada setiap siklus, yaitu : (a) perencanaan, (b) tindakan, (c) pengamatan, (d) refleksi yang dapat digambarkan sebagai berikut :













Oval: Permasalahan


Perencanaan
Tindakan 1
 

Pelaksanaan
Tindakan 1
 










 



Refleksi 1
 
Pengamatan/
Pengumpulan data 1
 
            siklus 1


Perencanaan
Tindakan 2
 
        siklus 1


















Refleksi 2
 


Pengamatan/
Pengumpulan data 2
 





 






Dilanjutkan
Siklus se;lanjutnya
 
       siklus 2







Oval: Apabila permasalahan
Belum
terselesaikan

 


   
                               

Gambar 2 . Empat fase Penelitian Tindakan Model Kurt Lewin

I.         SIKLUS I
Materi pelajaran pada siklus pertama ini adalah tentang : Makhluk hidup
a.       Perencanaan Tindakan I
Peneliti menyusun :
1.      Rencana Pembelajaran
2.      Membuat soal tes awal dan tes akhir
Tindakan yang direncanakan adalah memfokuskan perhatian peserta didik dengan memberikan pertanyaan awal untuk memotivasi peserta didik.
              b.       Pelaksanaan Tindakan I
                        Tindakan yang pertama, peneliti bekerja sama dengan rekan sejawat ( guru kelas V ) sebagai pengamat ( observasi ). Peneliti memberikan beberapa pertanyaan untuk memotivasi peserta didik. Dalam menyajikan materi, peneliti menggunakan model CTL diadakan tes untuk mengevaluasi tindakan satu ini. Hasil pekerjaan peserta didik dikoreksi dan dikelompokan sesuai dengan tingkat kesulitan yang dialami peserta didik dalam menyelesaikan soal evaluasi. Kemudian dicari cara mengatasinya.
            c.         Observsi Tindakan I
                                    Selama proses belajar mengajar berlangsung teman sejawat mengamati dan mencatat aktivitas peneliti sebagai pengajar serta aktifitas peserta didik dan sikap peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.
d.                 Refleksi Tindakan I
Semula hal yang diperoleh oleh observer dan kemudian didiskusikan untuk dipresentasikan tentang pelaksanaan siklus I ternyata hasil pembelajaran yang diperoleh belum memuaskan. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik maka pelaksanaan dilanjutkan pada siklus II.
II.        SIKLUS KEDUA
Pada siklus II materi pembelajaran tentang Penyesuaian makhluk hidup.
a.   Perencanaan Tindakan II
Berdasarkan hasil tindakan siklus I dan materi yang diajarkan, maka peneliti menyusun :
1.      Rencana Pembelajaran
2.      Membuat soal tes awal dan soal tes akhir
Pada siklus II tindakan yang direncanakan adalah memfokuskan perhatian peserta didik dengan memberikan konsep – konsep dasar tentang penyesuaian semua makhluk hidup terhadap keberlangsungan hidupnya.
b.   Pelaksanaan Tindakan II
Pada kegiatan ini peneliti melakukan pembelajaran menjelaskan penyesuaian makhluk hidup untuk keberlangsungan hidupnya sesuai dengan rencana. Dengan memberikan motivasi pada peserta didik pada awal pelajaran, peneliti memberikan pertanyaan dan menunjuk beberapa peserta didik untuk maju mengerjakan soal. Pada akhir pelajaran diadakan tes untuk mengevaluasi soal. Pada akhir pelajaran diadakan tes untuk mengevaluasi tindakan II. Hasil pekerjaan peserta didik diteliti, bagian mana yang nantinya perlu direvisi.
            c.   Observasi Tindakan II
Selama berlangsunya proses pembelajaran, teman sejawat menacatat segala kegiatan yang dilakukan baik oleh peneliti maupun sikap yang dilakukan peserta didik.
d.      Refleksi Tindakan II
Setiapa temuan didiskusikan dan di interprestasikan yang mana hasilnya digunakan sebagai pedoman menentukan langkah siklus III, ternyata pada siklus ini hasil yang diperoleh peserta didik sudah optimal. Maka pada siklus berikutnya tidak perlu dilakukan.


C.                 Pengumpulan Data
Sumber data penelitian tindakan kelas ini adalah data yang langsung diperoleh dari subyek penelitian yang meliputi data tes hasil belajar peserta didik.
Prestasi belajar IPA yang divalidasi adalah instrument tes ulangan harian, alat pengukuran data pada ulangan harian dilakukan dengan tes tertulis yang berbentuk soal isian. Sedangkan data keaktifan peserta didik dalam mengerjakan tugas diamati setiap kegiatan tatap muka.
D.        Analisis Data
            -     Menggunakan hasil observasi pelaksanaan tindakan
            -     Hasil belajar peserta didik atau evaluasi dianalisis berdasarkan ketentuan belajar peserta didik
            -     Observasi tentang sikap dianalisis berdasarkan perubahan sikap dan tingkah laku peserta didik setelah proses pembelajaran.
E.        Indikator Keberhasilan
                        Indikator keberhasilan pada penelitian tindakan kelas ini adanya peningkatan hasil ulangan harian peserta didik dari 60.00  menjadi 65.
            Dan adanya peningkatan presentase peserta didik dalam mengerjakan tugas dari siklus pertama sampai dengan siklus ke II.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.                Deskripsi Data
Dari hasil belajar yang dicapai setelah proses kegiatan penelitian selama 2 siklus perbaikan pembelajaran IPA materi penyesuaian makhluk hidup dengan metode CTL pada peserta didik kelas V di SDN Cilincing 02 Pagi, Cilincing Jakarta Utara. Diperoleh data siklus sebagai berikut:
1. Deskripsi Data Siklus I
Pada siklus I setelah kegiatan penelitian melalui tahapan perencanaan, tindakan, obeservasi dan refleksi didapat data sebagai berikut :
Tabel 2
Hasil Pembelajaran IPA Kelas V SDN Cilincing 02 Pagi

No
Nilai
Jmlh Siswa
Jmlh Nilai
Kriteria
Ket
Sgt Krg
Kurang
Cukup
Baik
Sgt Baik
1
50
8
400
21.62 %




Nilai Rata-rata kelas = 2220: 37 =  60.00
2
55
8
440
21.62 %




3
60
7
420

18.92 %



4
65
8
520


21.62 %


5
70
2
140



5.41 %

6
75
4
300



10.81 %

Jumlah
37
2220
43.24 %
18.92 %
21.62 %
16.21 %





Grafik 1
Kriteria Hasil Pembelajaran IPA Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi  pada Siklus I



Grafik 2
Presentasi Hasil Pembelajaran IPA Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi  Pada Siklus  I


Berdasarkan tabel. 2. Nilai rata-rata mata pelajaran IPA kelas V pada Siklus I adalah 60.00 masih dibawah nilai kriteria ketuntasan minimal mata pelajaran IPA 65. Sebanyak 16 orang peserta didik (43.24 %) masih mendapat perolehan nilai dengan kriteria sangat kurang. Sebanyak 7 orang peserta didik (18.92 %) mendapat perolehan nilai kriteria kurang dan hanya 8 orang peserta didik (21.62 %) yang mendapat perolehan nilai dengan kriteria cukup, dan 6 orang peserta didik (16.21 %) yang mendapatkan perolehan nilai dengan kriteria baik. Ini berarti bahwa peserta didik yang sudah memahami materi pelajaran IPA kompetensi penyesuaian makhluk hidup dengan metode CTL masih sangat sedikit hanya 37.83 % nya saja. Selebihnya 62.17 % belum memahami materi pelajaran IPA yang disampaikan dengan metode CTL sehingga masih diperlukan perbaikan untuk meningkatkan hasil belajar pada siklus II.
Tabel 3
Nilai Rata-rata Aktivitas Peserta Didik Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi  pada Siklus I

No
Nilai
Jmlh Siswa
Jmlh Nilai
Kriteria
Ket
Sgt Krg
Kurang
Cukup
Baik
Sgt Baik
1
40
6
240
16.21 %




Nilai Rata-rata kelas = 1955 : 37 = 52.84
2
45
7
315
18.92 %




3
50
6
300

16.21 %



4
55
6
330

16.21 %



5
60
5
300


13.51 %


6
65
4
260


10.81 %


7
70
3
210



8.11 %

Jumlah
37
1955
35.13 %
32.42 %
24.32 %
8.11 %




Grafik 3
Kriteria Aktivitas Peserta Didik Kelas V
SDN Cilincing 02  Pagi  pada Siklus I

Grafik 4
Presentasi Aktivitas Peserta Didik  Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi  Pada Siklus  I

Berdasarkan tabel 3 diperoleh presentasi aktivitas peserta didik pada siklus I, sebanyak 13 peserta didik  (35.13 %) termasuk kriteria sangat kurang, 12 peserta didik (32.42 %) kurang, dan hanya 9 orang peserta didik  (24.32 %) yang termasuk kriteria cukup (mau bekerja sama, berinisiatif, penuh perhatian dan bekerja sistematis ). Ini berarti masih perlu dilakukan perbaikan pada siklus II. 
Refleksi Siklus I
a.       Pelaksanaan pembelajaran dengan metode CTL masih belum optimal terlihat dari hasil nilai rata-rata mata pelajaran IPA yang masih dibawah KKM, yaitu 60.00.
b.      Guru masih cenderung pada metode ceramah sehingga suasana belajar belum terkondisikan untuk metode CTL.
c.       Tugas yang diberikan guru belum bisa diselesaikan tepat pada waktunya. Hal ini karena peserta didik kurang memahami langkah-langkah kerja metode CTL.
Untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan pada siklus I maka untuk siklus II perlu dilakukan perencanaan sebagai berikut :
a.       Menyiapkan perbaikan pembelajaran
b.      Memberikan penjelasan tentang langkah-langkah kerja metode CTL.
c.       Menggunakan metode CTL lebih konsisten.
d.      Memberikan bimbingan pada peserta didik yang mengalami kesulitan.







2. Deskripsi Data Siklus II
Pada siklus II setelah melakukan proses penelitian didapat data sebagai berikut :
Tabel 4
Hasil Pembelajaran IPA Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi Pada Siklus II
No
Nilai
Jmlh Siswa
Jmlh Nilai
Kriteria
Ket
Sgt Krg
Kurang
Cukup
Baik
Sgt Baik
1
55
1
55

2.70 %



Nilai Rata-rata kelas = 2980 : 37 = 80.54
2
60
1
60

2.70 %



3
65
1
65


2.70 %


4
70
8
560



21.62 %

5
80
10
800



28.57 %

6
90
16
1440




45.71 %
Jumlah
37
2980

5.40 %
2.70 %
50.19 %
45.71 %

Grafik 5
Kriteria Hasil Pembelajaran IPA Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi pada Siklus II



Grafik 6
Presentasi Hasil Pembelajaran IPA Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi  Pada Siklus  II

Berdasarkan tabel 4 Nilai rata-rata mata pelajaran IPA kelas V pada siklus II adalah 80.54 lebih tinggi dari nilai KKM mata pelajaran IPA (65). Hanya tinggal 2 orang peserta didik (5.40 %) yang termasuk kriteria kurang dan 1 orang peserta didik (2.70 %) memperoleh nilai cukup, 8 orang peserta didik (21.62 %) memperoleh kriteria sangat baik dan 26 orang peserta didik (45.71 %) memperoleh criteria sangat baik. Ini berarti metode CTL yang digunakan dalam pembelajaran IPA memang dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas V SDN Cilincing 02 Pagi.


Tabel 5
Nilai Rata-rata Aktivitas Peserta Didik Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi pada Siklus II

No
Nilai
Jmlh Siswa
Jmlh Nilai
Kriteria
Ket
Sgt Krg
Kurang
Cukup
Baik
Sgt Baik
1
50
1
50

6.67 %



Nilai Rata-rata kelas = 2729 : 307 = 73.75
2
55
1
55

3.33 %



3
65
3
195


10 %


4
70
7
490



23.33 %

5
75
9
675




26.67 %
6
78
8
624




16.67 %
7
80
8
640




13.33 %
Jumlah
37
2729

10 %
10 %
23.33 %
56.63 %


Grafik 7
Kriteria Aktivitas Peserta Didik Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi pada Siklus II




Grafik 8
Presentasi Aktivitas Peserta Didik  Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi Pada Siklus  II

Berdasarkan tabel 5, diperoleh nilai rata-rata aktivitas peserta didik pada siklus II  73.75 dengan kriteria baik dan sudah tidak ada lagi peserta didik yang termasuk kriteria sangat kurang, hanya 2 peserta didik (10 %) masuk kriteria kurang, 7 (23.33 %) orang masuk kriteria baik dan selebihnya 25 orang peserta didik (56.63 %) masuk kriteria sangat baik. Ini berarti metode CTL  sesuai dengan kebutuhan dan katerikteristik peserta didik kelas V SDN Cilincing 02 Pagi yang energik dan aktif namun kurang percaya diri.
 Refleksi Siklus II
a.       Pelaksanaan pembelajaran dengan metode CTL dapat meningkatkan hasil belajar Matematika peserta didik kelas V SDN Cilincing 02 Pagi. hal ini terbukti dari hasil nilai rata-rata mata pelajaran IPA yang mencapai 80.54  lebih tinggi dari nilai KKM dan masuk kriteria sangat baik.
b.      Peserta didik sudah dapat mengembangkan ide dan gagasan dalam menentukan dan menyelesaikan tugas serta mampu mempersentasikan hasil temuannya dengan baik. Hal ini terlihat dari jumlah peserta didik yang masuk kriteria baik berjumlah 25 orang peserta didik  (56.63 %) dari jumlah peserta didik seluruhnya 37 orang peserta didik.

B.     Pembahasan Persiklus Pembelajaran IPA
Tabel 6
Perbandingan Hasil Pembelajaran IPA
Kelas V SDN Cilincing 02 Pagi
Pada Siklus I dan 2

NO
Siklus
Nilai rata-rata Kelas
Kriteria
1
Siklus I
60.00
Kurang
2
Siklus II
80.54
Sangat Baik

Grafik 9
Perbandingan Hasil Pembelajaran IPA Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi pada Siklus I dan II
Berdasarkan tabel 6 dan Grafik 3.1 perbandingan hasil pembelajaran IPA Kelas V SDN Cilincing 02 pagi  pada siklus I dan Siklus II menunjukkan peningkatan nilai rata-rata, yaitu pada siklus I hanya 60.00 termasuk kurang menjadi 80.54 termasuk kriteria sangat baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan metode CTL yang didukung oleh media pembelajaran yang baik mampu meningkatkan hasil pembelajaran IPA kompetensi penyesuaian  makhluk hidup pada peserta didik kelas V SDN Cilincing 02 Pagi.
Peserta didik menjadi lebih aktif, kreatif, dan inovatif sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan bermakna.
Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari perbandingan nilai rata-rata hasil belajar dan nilai rata-rata aktivitas peserta didik mulai dari siklus I dan siklus II yang semakin meningkat pada tiap siklusnya hingga akhirnya mencapai nilai dengan baik.
Tabel 7
Perbandingan Nilai Rata-rata Aktivitas Peserta Didik kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi pada Siklus I dan II
 NO
Siklus
Nilai rata-rata Aktivitas
Kriteria
1
Siklus I
52.84
Kurang
2
Siklus II
73.75
Baik




Grafik 10
Perbandingan Hasil Aktivitas Peserta Diidk Kelas V
SDN Cilincing 02 Pagi  pada Siklus I dan II
Berdasarkan tabel 7 dan Grafik 10 perbandingan nilai rata-rata aktivitas peserta didik  kelas V SDN Cilincing 02 Pagi menunjukkan peningkatan nilai rata-rata, yaitu pada Siklus I hanya 52.84 termasuk kriteria kurang menjadi 73.75 termasuk kriteria baik pada siklus II. Hal ini menunjukkan bahwa metode CTL dapat membuat peserta didik menjadi lebih aktif, kreatif dan inovatif sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan bermakna.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.                 Kesimpulan
 Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.         Metode CTL dapat meningkatkan hasil belajar IPA kompetensi penyesuaian makhluk hidup  pada peserta didik kelas V SDN Cilincing 02 Pagi. Hal ini terbukti dari nilai belajar IPA peserta didik kelas V yang meningkat pada tiap siklusnya (Siklus I = 60.00 Siklus II = 80.54) pada siklus II memperoleh nilai diatas rata-rata kelas dari nilai KKM mata pelajaran IPA dan termasuk kriteria sangat baik.
2.         Metode CTL sesuai dengan kebutuhan karakteristik paserta didik kelas V SDN Cilincing 02 Pagi yang energik dan aktif. Hal ini terbukti dari nilai rata-rata aktivitas peserta didik yang meningkat pada tiap siklusnya (Siklus I = 52.84 Siklus II = 73.75). Pada Siklus II diperoleh nilai rata-rata aktivitas peserta didik yang tinggi dan termasuk kriteria baik.
3.      Metode CTL (Contextual teaching and learning) merupakan pendekatan belajar yang mendekatkan materi yang dipelajari oleh peserta didik dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta didik. Metode CTL dalam kegiatan KBM dikelas dapat berupa metode ceramah, diskusi, demonstrasi, eksperimen, tanya jawab dan kerja kelompok, dari metode diatas metode mana yang paling cocok digunakan pada materi yang akan diajarkan. Metode CTL memerlukan guru yang inovatif sehingga materi pembelajaran yang diajarkan, tidak membosankan.  SDN Cilincing 02 Pagi berupaya menghasilkan kompetensi lulusan, yaitu peserta didik yang berpikir logis, kreatif, inovatif, memecahkan masalah, serta berkomunikasi dengan berbagai media, melalui metode CTL yang diterapkan secara berkesinambungan .

B.                 Saran
Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan maka peneliti mengajukan beberapa saran untuk perbaikan antara lain :
1.         Penerapan metode CTL sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik agar dapat berhasil dengan baik.
2.         Guru harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan melalui pemilihan metode pembelajaran yang tepat sehingga dapat memberikan hasil belajar yang baik.
3.         Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah dan guru agar lebih meningkatkan sarana prasarana, fasilitas belajar dan pelayanan sehingga proses belajar lebih kondusif dan akan menghasilkan peserta didik yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Alipandie.I, 1984, Didaktik Metodik Pendidikan Umum. Surabaya : Usaha Nasional.
Blanchart, Allan, 2001, Contextual Teaching And Learning B.E.S.T.
Mohammad Soleh, 2003, Pembelajaran Kontekstual Dan Kecakapan Hidup Dalam Kurikulum KBK, Dikdas DKI, Makalah tidak diterbitkan.

Nur, Muhammad 2001, Pengajaran Dan Pembelajaran Kontekstual, Makalah tidak diterbitkan.

Nur,Muhammad 2001, Contextual Learning Dalam Pendidikan IPA, Makalah tidak diterbitkan.

Rusyam,T, Kusdinar, A. Arifin. Z, 1992, Pendekatan Dalam Proses Belajar  Mengajar. Bandung : Remaja Karya.

Sumartini, 2003. MPMS, Dalam Kinerja Sekolah Dan Kompetensi Guru, Makalah tidak diterbitkan.

Surya Muhammad, 1995. Psikologi Pembelajaran Dan Pengajaran. Bandung jurusan PPB FIB IKIP  Bandung.

Sudjana, 2000, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung : Siswa baru Algensindo.

Slamet PH, 2001, Menejemen Berbasis Sekolah, jurnal pendidikan dan kebudayaan No.27. th. 6, Jakarta, Balitbong Depdiknas.

Slamet PH, 2005, MBS, life skill, KBK, CTL Dan Saling Keterkaitannya, artikel bulletin pelangi pendidikan edisi III hal 13.

Usman, Uzer Moch,1991. Menjadi Guru Professional. Bandung : Resda Karya.