Bila
kita berbicara tentang pendidikan remaja menurut sudut pandang Psikologi Islam,
kita harus bertanya terlebih dahulu seperti apa seharusnya Psikologi Islam
memandang remaja dan manusia secara umum? Apakah Psikologi Islam seharusnya
melihat manusia lebih sebagai suatu produk kebudayaan yang tunduk sepenuhnya
pada perubahan-perubahan sosial? Atau ia seharusnya lebih melihat manusia dari
aspek fitrah insaniah yang dengannya ia diciptakan? Apakah fase-fase
perkembangan manusia, termasuk fase remaja, harus sepenuhnya tunduk pada
kehendak kultural masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu? Ataukah
ia seharusnya lebih memperhatikan hal-hal yang bersifat natural dalam
tahap-tahap pertumbuhannya?
Adalah
benar jika dikatakan bahwa manusia merupakan makhluk budaya dan tak mungkin
dipisahkan dari perkembangan budayanya. Kendati demikian, manusia juga memiliki
sifat-sifat natural (fitrah) yang tak boleh diabaikan, demi terjaganya
kesehatan psikologis manusia itu sendiri. Psikologi Islam berkepentingan untuk
mempelajari hal-hal yang fitrah ini untuk kemudian mengawalnya dalam fase-fase
pertumbuhan manusia.
Al-Qur’an
mengingatkan, “… (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”[1] Perubahan yang serius pada fitrah
manusia tentu akan menimbulkan problem-problem serius juga di tingkat
psikologis dan sosial. Tulisan berikut ini akan berusaha untuk membedah
persoalan dan pendidikan remaja dari sudut pandang ini.
Remaja Modern dan Akar Permasalahannya
Menggagas
pendidikan remaja idealnya tetap mengacu pada kondisi remaja kontemporer,
sehingga solusi yang ditawarkan tidak tercerabut dari realitas yang ada. Selain
itu, kita juga mencari jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar seperti
berikut: Siapa sesungguhnya kelompok usia yang disebut remaja itu? Apa
karakteristiknya? Dan bagaimana situasi yang mereka hadapi pada hari ini, baik
secara psikologis maupun sosial?
Tidak
ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang biasa
disebut remaja. Namun secara umum, remaja biasanya dianggap sebagai kelompok
usia peralihan antara anak-anak dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20
tahun.[2] Hilgard menjelaskan bahwa
setidaknya ada tiga aspek penting yang menandai masa remaja: 1) Terjadinya
perubahan fisik (berkembangnya hormon dan organ-organ seksual), 2) Adanya
pencarian dan pemantapan identitas diri, dan 3) Adanya persiapan menghadapi
tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang mandiri.[3]
Fase
usia remaja sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahap
perkembangan manusia. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang
‘masa topan badai,’[4] sementara James E. Gardner menyebutnya
sebagai masa turbulence (masa penuh gejolak). Penilaian ini tentu
berangkat dari realitas psikologis dan sosial remaja.
Sebenarnya,
sejauh manakah gejolak yang dialami oleh remaja pada hari ini? Jika
persoalan-persoalan remaja di dalam dan di luar negeri dihimpun
sebanyak-banyaknya, tentu data-data itu akan mengejutkan orang yang
mengamatinya. Sementara, secara kualitatif dan kuantitatif, persoalan-persoalan
remaja tadi tampaknya terus meningkat dari hari ke hari.
Remaja-remaja
sekarang ini semakin akrab dengan persoalan seks, kekerasan, obat-obatan, dan
problem psikologis. Perilaku seks remaja modern semakin bebas dan permisif.
Riset Majalah Gatra beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22 % remaja
menganggap wajar cium bibir, dan 1,3 % menganggap wajar hubungan senggama. Angka
ini memang relatif kecil, tetapi penelitian-penelitian lain menunjukkan angka
yang lebih tinggi. Sebagai contoh, 10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di
Jawa Tengah mengaku sudah pernah melakukan hubungan intim.[5] Malah penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan angka yang sudah
cukup tinggi.[6]
Beberapa
remaja di Semarang pernah tertangkap basah oleh aparat dan warga karena
melakukan pesta seks dan mabuk-mabukan, sementara yang lainnya di Ujung Pandang
meninggal dunia di mobil setelah melakukan hal yang sama. Banyak dari mereka
melakukan itu semua bukan karena adanya desakan ekonomi, melainkan untuk
mencari kepuasan semata.[7] Perilaku seks remaja-remaja di pedesaan ternyata juga tidak terlalu jauh
berbeda dengan perilaku rekan-rekan mereka di perkotaan.
Contoh-contoh
statistik serta kasus di atas tentu tidak sebesar dan seserius yang terjadi di
Eropa dan Amerika Serikat (lihat Lampiran 1), tapi ada indikasi bahwa kebebasan
seksual semakin gencar masuk ke tanah air bersama dengan tersebarnya budaya
global. Media massa dan elektronik yang banyak mengandung unsur seks dan
kekerasan, begitu pula komik-komik porno, begitu mudah diakses oleh kalangan
remaja dewasa ini. Kini, anak-anak kelas 4 hingga 6 SD sudah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat dewasa tentang seks, seperti ”Apakah sex
swalayan itu?” dan ”Bagaimana cara melakukan seks?”[8] Sementara, beberapa remaja puteri usia SMU merasa tak segan difoto
payudara, atau malah tubuh telanjangnya, dengan handphone, semata-mata karena
bangga dengan keindahan tubuhnya sendiri.[9]
Angka
kekerasan serta konsumsi rokok dan obat-obatan terlarang juga cukup tinggi di
kalangan remaja Indonesia. Data tentang tawuran di Jakarta pada paruh pertama
tahun 1999, sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia, memperlihatkan
bahwa rata-rata dua anak tewas setiap bulannya karena perkelahian antar
pelajar. Pada tahun yang sama, sebuah penelitian tentang narkoba menunjukkan
bahwa paling tidak 60-80% murid SMP di seantero Yogya pernah mencicipi
narkotika, sementara di wilayah-wilayah pemukiman setidaknya 10 anak baru gede
(ABG) di tiap RT pernah merasakan narkotika.[10] Angka ini juga cukup tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan
narkotika dalam bentuk permen pernah beredar di Jakarta Timur dengan target
konsumen anak-anak SD.[11]
Di
beberapa negara asing, seperti di Amerika Serikat dan Hongkong, tingkat
kerentanan psikologis anak-anak remaja sangat tinggi. Majalah News Week
pernah mengangkat seriusnya persoalan remaja di Amerika pasca penembakan yang
menimbulkan kematian lebih dari sepuluh anak di sekolah Columbine.[12] Salah satu survey yang diangkat oleh majalah itu menyebutkan bahwa satu
dari empat remaja di Amerika Serikat berpikiran bunuh diri.[13] Survey American Academy of Pediatrics
belum lama ini malah menunjukkan bahwa 60% pelajar menyatakan bahwa mereka
pernah berpikiran untuk bunuh diri, dan 9% di antaranya pernah mencobanya
paling tidak satu kali.[14] Sementara itu di Hong Kong, satu dari tiga remajanya berpikiran untuk bunuh
diri.[15]
Di
Indonesia, persoalannya tentu tidak seserius itu. Namun, sejak pertengahan
tahun 2003 hingga April 2005 setidaknya ada 30 kasus upaya bunuh diri yang
dilakukan oleh remaja di tanah air.[16] Tidak semua anak yang berupaya
bunuh diri itu mengalami kematian. Sebagian berhasil diselamatkan dan tetap
bertahan hidup. Namun, hampir semuanya melakukan upaya bunuh diri untuk alasan-alasan
yang remeh dan tak masuk akal, seperti ”rebutan mie instan dengan adik,”
”rebutan remote untuk nonton AFI di TV,” ”ngambek minta dibelikan buku gambar,”
atau karena ”kecewa tidak dibelikan TV.” Fenomena ini tampaknya belum mengemuka
pada dekade-dekade sebelumnya. Ini semua menggambarkan adanya kerentanan yang
cukup serius pada kondisi psikologis remaja-remaja Indonesia, khususnya pada
tahun-tahun belakangan ini.
Remaja
modern telah menjadi suatu kelompok usia terpisah yang membedakan diri dari
kelompok usia anak-anak dan dewasa. Gejolak psikologis yang mereka alami
terekspresikan keluar dalam berbagai bentuk dekadensi seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya. Mereka jadi sulit diatur dan sering bentrok dengan orang
tua. Guru dan pihak sekolah pun kesulitan untuk mengontrol mereka.
Remaja-remaja ini berkumpul dengan teman-teman seusia mereka dan menciptakan
budaya teman sebaya (peer culture). Mereka merasa lebih dekat dengan
teman-teman seusia mereka yang memiliki karakteristik sama dengan mereka. Mereka
juga kurang mau mendengar dari orang-orang dewasa yang semakin jarang
berinteraksi dengan mereka[17] dan tidak selalu memahami gejolak
perasaan mereka. Kondisi mereka yang labil seringkali mendorong terjadinya
tekanan teman sebaya (peer pressure) yang cenderung menjatuhkan mereka
ke berbagai hal yang negatif, seperti rokok, narkotika, kekerasan, dan seks
bebas.
Orang-orang
dewasa di sekitar mereka, termasuk orang tua dan guru, mungkin bingung
bagaimana seharusnya menyikapi anak-anak remaja. Mau disikapi sebagai orang
dewasa, mereka ternyata belum terlalu matang dan masih banyak membutuhkan
bimbingan. Mau disikapi sebagai anak kecil, lebih tidak mungkin lagi mengingat
perkembangan fisik mereka yang mulai menunjukkan ciri-ciri orang dewasa.[18] Akibatnya, kelompok usia remaja menjadi semakin terasing dari dunia orang
dewasa yang idealnya bisa membimbing mereka menuju kematangan dan kemandirian
pribadi.
Bagaimanakah
fenomena-fenomena ini seharusnya dijelaskan? Apakah semua itu merupakan hal
yang normal terjadi pada remaja? Apakah berbagai problematika psikologis dan
sosial remaja modern juga dialami oleh rekan-rekan seusia mereka di masa lalu? Ataukah
ini hanya menjadi ciri khas dari remaja-remaja modern? Kita akan mencoba
mengurai persoalan-persoalan ini satu demi satu, sebelum menggagas solusi
pendidikan terbaik bagi anak-anak remaja.
Ketika
memasuki usia remaja (puber), setiap anak mengalami perubahan yang sangat
signifikan pada fisiknya, terutama yang terkait dengan organ-organ seksualnya. Perubahan-perubahan
tersebut menimbulkan kecanggungan pada diri remaja karena ia harus menyesuaikan
diri dengan perubahan-perubahan tadi. Penyesuaian ini tidak selalu bisa mereka
lewati dengan baik, lebih-lebih bila tidak ada bimbingan dan dukungan dari
orang tua.[19]
Bersamaan
dengan terjadinya perubahan fisik menuju kedewasaan, perubahan yang bersifat
psikologis juga dialami oleh remaja. Pada diri mereka mulai muncul perasaan
akan identitas diri. Jika pada waktu kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir
tentang jati diri mereka sendiri, maka pada masa remaja pertanyaan-pertanyaan
seperti “siapa diri saya?” dan “apa tujuan hidup saya?”[20] menjadi persoalan yang sangat penting. Ini sebetulnya pertanyaan yang wajar
bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa, karena pada masa ini mereka sudah
harus mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persoalannya
menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik
dan terus berlarut-larut menggelayuti pikiran mereka.
Berkenaan
dengan persoalan jati diri ini, Jane Kroger mengatakan bahwa “Remaja agaknya
merupakan suatu saat … ketika seseorang dihadapkan dengan persoalan definisi
diri.”[21] Sementara Kathleen White dan Joseph
Speisman dalam buku mereka, Remaja, menjelaskan bahwa remaja cenderung,
“bergelut dengan isu mengenai siapa dirinya dan ke mana tujuannya.” Begitu
seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga “barangkali hanyalah pada masa
remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri.”[22]
Sayangnya,
hanya segelintir remaja yang mungkin benar-benar lulus sebagai ”ahli filsafat
moral,” sementara sebagian besar lainnya justru semakin bingung dan tak peduli
dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Banyak yang gagal dalam menemukan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mendasar tadi.[23] Kegagalan dalam definisi diri membuat
remaja mengalami ’kebingungan peran’ (role confusion)[24] saat mencari model peran yang akan
diikuti.
Model
peran orang tua yang sebelumnya mereka idealkan semasa kecil kini mulai ingin
mereka jauhi, terutama jika orang tua bermasalah.[25] Remaja mulai melirik model-model peran dan identitas yang ada di luar
keluarganya. Namun, mereka seringkali mengalami kebingungan karena ada begitu
banyak pilihan peran dan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama lain,
sementara mereka tidak memperoleh bimbingan yang mantap bagaimana seharusnya
menentukan pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Semua itu membawa
remaja kepada kondisi yang sangat labil, rentan, dan mudah terpengaruh oleh
lingkungannya. Pada gilirannya, tidak sedikit remaja yang akhirnya terjerumus
dalam berbagai persoalan serius sebagaimana yang telah disinggung pada bagian
awal dari tulisan ini.
Situasi
ini menjadi semakin buruk, karena kaum kapitalis, khususnya para pengusaha
bisnis hiburan, berusaha mengambil keuntungan dari kondisi remaja yang labil. Pencarian
jati diri remaja dilihat oleh mereka sebagai ”permintaan” (demand) dan
peluang bisnis. Mereka pun kemudian memberikan ”penawaran” (supply)
berupa artis dan selebritis yang menampilkan identitas semu (pseudo-identity).
Remaja tak sekedar mengapresiasi para selebritis karena film atau lagu mereka
yang menarik, tapi juga karena para selebritis itu menampilkan model-model
identitas yang bisa mereka tiru dan ikuti.[26] Hanya saja, peniruan yang mereka lakukan ini tidak menyelesaikan problem
dan gejolak pada diri mereka, malah semakin melipatgandakannya.
Semua
ini berputar dalam suatu siklus. Kaum kapitalis menciptakan industri hiburan
yang menghadirkan artis dan selebritis. Para selebritis menampilkan identitas
semu yang diapresiasi oleh anak-anak remaja sebagai upaya pemenuhan atas
pencarian jati diri mereka. Kaum remaja, atau orang tua mereka, mengeluarkan
uang untuk mengkonsumsi hiburan dan mengapresiasi artis-artis, dan uang itu
masuk ke kantong kapitalis. Siklus itu terus berputar. Dan sebagai dampaknya,
kaum kapitalis mengalami akumulasi modal, sementara remaja mengalami akumulasi
krisis (Lihat bagan 1).
Sejauh
ini, data-data memperlihatkan bahwa masa usia remaja identik dengan krisis,
sifat labil, serta terjadinya gejolak psikologis dan sosial yang bersifat
destruktif. Dengan kata lain, kelabilan dan gejolak (turbulence) lekat
dengan fase usia remaja yang merupakan peralihan antara anak-anak dan dewasa.
Pendidikan remaja seharusnya mampu memberikan solusi terbaik dalam meredam
keadaan labil dan penuh gejolak tadi, serta memberikan pemecahan bagi mereka
untuk keluar dari lingkaran krisis yang mereka alami. Oleh karenanya, dalam
rangka merumuskan solusi tadi, Psikologi Islam perlu mengevaluasi kembali
posisi remaja sebagai suatu kelompok usia berikut ciri-cirinya, dikaitkan
dengan sifat-sifat manusiawi dan alamiah yang seharusnya ada pada diri manusia
di setiap fase usianya.
Kajian
yang kritis atas fase usia remaja memperlihatkan bahwa kelompok usia ini
berikut ciri-cirinya, sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat modern,
tidaklah bersifat natural. Artinya, pola pertumbuhan manusia yang alamiah
sebenarnya tidak membuka peluang bagi terbentuknya kelompok usia remaja seperti
yang kita pahami sekarang. Adanya fase usia remaja pada jaman modern ini
sebetulnya bersumber dari penundaan kedewasaan yang dipaksakan oleh masyarakat.
Bekenaan
dengan ini Tanner mengajukan pertanyaan, ”Apakah ketegangan dan kecemasan pada
masa akil baligh itu ditimbulkan oleh alam atau dipaksakan oleh masyarakat?” Ia
kemudian menjawab sendiri pertanyaan tadi, ”Jawabannya tampaknya adalah bahwa
ketegangan dan kecemasan tadi dipaksakan oleh masyarakat dalam negara yang
sudah maju, sebab jadwal waktu masyarakat tampaknya tidaklah sinkron dengan
jadwal waktu pertumbuhan alamiah manusia.”[27]
Jadi, tampak jelas di sini bahwa gejolak masa remaja terjadi karena masyarakat
pada negara yang sudah maju telah mengubah jadwal waktu pertumbuhan manusia
sesuai dengan kepentingannya, sehingga bertentangan dengan jadwal alamiah yang
dimiliki remaja tadi. Dengan
kata lain, sifat labil serta gejolak masa remaja merupakan suatu produk
kultural, dan tidak bersumber pada sifat-sifat natural manusia.
Secara
alamiah setiap anak seharusnya sudah menjadi dewasa pada saat baligh, atau tak
lama setelah baligh, tapi masyarakat modern mempunyai jadwal yang berbeda
mengenai kapan seharusnya seorang anak menjadi dewasa. Masyarakat kemudian
memaksakan pemunduran jadwal kedewasaan anak sedemikian rupa – karena mereka
harus melewati masa pendidikan formal yang panjang serta dikarenakan beberapa
faktor lainnya – sementara pada saat yang sama jadwal alamiahnya pun tetap
berjalan sebagaimana biasa. Jadi, bukannya menyesuaikan diri dengan jadwal alamiah,
masyarakat modern memilih untuk memaksakan jadwal baru yang mereka anggap baik.
Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu gejolak pada remaja modern sebagaimana
akan dijelaskan lebih jauh nantinya.
Tanner
melanjutkan penjelasannya, ”Pada masyarakat primitif, tahun-tahun masa
kanak-kanak memberikan segala waktu belajar yang diperlukan orang agar dapat
menyesuaikan diri dengan kebudayaannya. Akibatnya, kedewasaan seksual dan
kedewasaan sosial dicapai hampir bersamaan. Selang waktu antaranya paling lama
hanyalah dua atau tiga tahun saja.”[28] Sejarah membuktikan bahwa pada masa-masa yang lalu, remaja seperti yang
kita pahami sekarang sama sekali tidak ada.[29]
Sarlito
Wirawan Sarwono, dalam bukunya Psikologi Remaja, juga menyatakan hal
senada. Konsep remaja tidak dikenal pada masa-masa yang lalu. Beliau
mengatakan,
“Walaupun konsep tentang anak sudah dikenal sejak abad
ke-13, tetapi konsep tentang remaja sendiri baru dikenal secara meluas dan
mendalam pada awal abad ke-20 ini saja dan berkembang sesuai dengan kondisi
kebudayaan misalnya karena adanya pendidikan formal yang berkepanjangan, karena
adanya kehidupan kota besar, terbentuknya ‘keluarga-keluarga’ batih sebagai
pengganti keluarga-keluarga besar ….”[30]
Jadi,
perkembangan kebudayaan telah menunda kedewasaan anak dan menciptakan realitas
kelompok usia yang baru, yaitu remaja, yang merupakan peralihan antara kelompok
usia anak-anak dan dewasa. Pengamatan atas realitas baru ini kemudian
melahirkan konsep tentang remaja sebagaimana yang dipahami masyarakat sekarang
ini. Hanya saja, realitas baru yang dibentuk oleh kebudayaan modern ini rupanya
juga ikut menyebabkan munculnya berbagai persoalan serta krisis berkepanjangan
pada anak usia belasan tahun. Seperti yang dikatakan Ahmad Faqih, kemajuan
sains modern telah memberikan kontribusi terhadap munculnya diskrepansi dan
dehumanisasi.[31]
Pada
masa lalu serta pada masyarakat primitif yang belum bersentuhan dengan
kebudayaan modern, anak-anak memperoleh status kedewasaan mereka tidak lama
setelah terjadinya puber. Anak-anak ini, dengan cara yang berbeda-beda, telah
dipersiapkan secara psikologis dan sosial untuk memahami dan menerima
kedewasaan mereka pada awal atau pertengahan usia belasan tahun mereka. Bahkan,
masyarakat-masyarakat primitif pada umumnya memiliki upacara tersendiri untuk
’melantik’ anak-anak mereka sebagai orang dewasa. Dengan demikian, anak-anak
itu mengetahui dan mengalami momen kedewasaan sosial mereka secara tegas,
setegas momen kedewasaan biologis yang mereka rasakan di masa puber. Yang terpenting
dari itu semua, remaja-remaja pada masyarakat primitif tidak mengalami gejolak
serta krisis seperti yang dialami remaja-remaja modern.
Ada
beberapa bukti dari masyarakat primitif yang bisa dihadirkan di sini. Penelitian
antropologis oleh Margaret Mead di kepulauan Samoa dan Papua memperlihatkan
bahwa “anak laki-laki menjadi pria dewasa dan anak wanita menjadi wanita dewasa
tanpa mengalami kecemasan dan kesukaran emosional yang di Amerika dianggap tak
terhindarkan.”[32] Orang-orang Indian di benua Amerika serta suku-suku primitif di Afrika
Selatan juga mempunyai upacara khusus untuk melantik anak-anak mereka menjadi
orang dewasa.[33] Bahkan orang-orang Yahudi modern masih memelihara upacara Bar Mitzvah
di sinagog-sinagog untuk mengangkat secara resmi anak-anak lelaki mereka yang
berusia 13 tahun (12 tahun untuk anak-anak perempuan) menjadi orang dewasa.[34]
Tidak
terjadinya gejolak emosi yang menonjol pada masyarakat primitif di atas adalah
disebabkan oleh adanya pemberian status sosial yang jelas di usia dini – di
masa-masa awal pubertas mereka – di samping adanya persiapan psikologis anak
pada masa-masa sebelumnya. Sarlito Wirawan Sarwono juga menegaskan dalam
bukunya bahwa remaja yang mendapat status sosial yang jelas di usia dini
biasanya tidak mengalami gejolak yang menonjol. ”Pengalaman menunjukkan bahwa
remaja yang telah mendapat status sosialnya yang jelas dalam usia dini, tidak
menampakkan gejolak emosi yang terlalu menonjol seperti rekan-rekannya yang
lain yang harus menjalani masa transisi dalam tempo yang cukup panjang,”
tulisnya.[35]
Berdasarkan
semua pemaparan dan fakta-fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelabilan
serta gejolak masa remaja yang berlebihan adalah realitas masyarakat modern
yang merupakan dampak dari perubahan budaya. Gejolak dan krisis ini terjadi
karena masyarakat serta kebudayaan pada hari ini telah memundurkan jadwal
kedewasaan anak di luar dari jadwal alamiah yang dimilikinya. Pada saat puber
(sekitar umur 12 tahun), anak mengalami kedewasaan biologis yang ditandai oleh
mimpi basah (wet dreaming) dan berkembangnya organ-organ seksual. Dengan
adanya kedewasaan biologis ini, remaja memiliki kemampuan biologis yang sama
dengan orang-orang dewasa lainnya; ia dapat menikah dan mempunyai anak.
Bersamaan
dengan masuknya seseorang ke fase kedewasaan biologis, lewat pubertas, hasrat
serta kebutuhan untuk menjadi dewasa secara psikologis dan sosial juga muncul. Dipisahkan
dan ditundanya kedua jenis kedewasaan yang terakhir ini, yaitu kedewasaan
psikologis dan sosial, dari kedewasaan biologis telah menyebabkan kebingungan,
kegamangan, serta pada gilirannya gejolak dan krisis pada diri remaja (lihat
Bagan 2[36]). Gejolak tersebut terjadi karena
pemisahan serta penundaan tadi bertentangan dengan proses alamiah yang ada pada
diri seseorang. Oleh karena itu, tugas utama Psikologi Islam adalah mencari
jalan agar pertumbuhan remaja bisa kembali berlangsung secara sehat berdasarkan
proses alamiahnya, tanpa harus meninggalkan fase kebudayaan modern dan kembali
ke kebudayaan primitif. Dengan kata lain, Psikologi Islam perlu menarik dan
merevitalisasi nilai-nilai lama yang lebih alamiah, positif, dan Islami untuk
memberi solusi yang terbaik bagi pertumbuhan remaja di dunia modern.
Aspek-Aspek Pendidikan Remaja
Berbagai
persoalan remaja yang muncul terjadi karena ketegangan antara apa-apa yang
natural (fitrah) pada diri manusia dengan paksaan budaya. Ia juga terjadi karena sistem pendidikan yang ada
terlalu menekankan pada kepentingan negara dan pertumbuhan ekonomi, bukan demi
kepentingan kesehatan pertumbuhan manusia itu sendiri.
Perlu
disadari bahwa tugas Psikologi Islam adalah agar manusia selalu lurus dengan
fithrahnya.[37] Terkait dengan pendidikan, Syed
Muhammad Naquib al-Attas menekankan bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang
paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan
untuk menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi
untuk memunculkan manusia paripurna.[38] Para ahli pendidikan Muslim juga mempunyai pendapat yang senada. Dr. Ali
Asraf menyatakan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan untuk mengembangkan
individu sepenuhnya.[39] Sementara Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah
terwujudnya kesempurnaan manusia yang bisa mendekatkannya kepada Allah dan bisa
membawa pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[40]
Upaya pembentukan manusia yang
utuh dan paripurna (al-insan al-kamil) tidak mungkin dapat terwujud
selama masih adanya kesenjangan yang serius dalam aspek-aspek kedewasaan
remaja. Kesenjangan ini bertentangan dengan pola pertumbuhan natural manusia
dan karenanya menimbulkan ketidaksehatan jiwa pada diri remaja. Ketidaksehatan
jiwa ini pada gilirannya menyebabkan terjadinya ketidaksehatan sosial pada
komunitas remaja dan lingkungannya. Prof. El-Quussy menyatakan bahwa
”pendidikan yang tidak menuju ke arah menciptakan kesehatan jiwa dianggap
sebagai suatu perbuatan yang sia-sia, yang tidak ada gunanya.”[41]
Oleh karenanya, salah satu tugas
penting Psikologi Islam sekarang ini dalam pendidikan remaja adalah
menghapuskan kesenjangan pada aspek kedewasaan remaja. Jadwal kedewasaan
biologis tidak mungkin dimundurkan waktunya, karena terjadi secara alamiah. Oleh
sebab itu, jadwal kedewasaan psikologis dan sosial-lah yang perlu kembali
dimajukan waktunya agar berdekatan dengan jadwal kedewasaan biologis,
sebagaimana yang selama ini dialami oleh remaja-remaja pada masyarakat primitif
dan pada masyarakat di masa lalu. Dimajukannya jadwal waktu kedewasaan
psikologis dan sosial lebih bersifat natural dan lebih menjamin kesehatan jiwa
dalam fase pertumbuhan remaja.[42]
Kedewasaan
sosial anak remaja biasanya dicapai dengan adanya penerimaan sosial dari orang
tua dan lingkungannya terhadap remaja sebagai orang yang sudah dewasa dan
sejajar dengan orang-orang dewasa lainnya. Selain itu, kedewasaan sosial juga
terwujud dengan adanya interaksi antara anak dengan orang-orang dewasa di
sekitarnya secara sederajat dan dewasa. Dengan kata lain, anak remaja
seharusnya disikapi sebagai orang dewasa dan dilibatkan dalam komunitas serta
aktivitas positif[43] orang-orang dewasa. Sekiranya orang tua
menyikapi dan melibatkan anak-anaknya secara dewasa, bahkan sebelum anak-anak
itu menginjak masa baligh/ puber, maka anak-anak itu akan memiliki karakter
dewasa yang sehat ketika ia memasuki masa remaja. Dalam situasi seperti itu,
kecil kemungkinan anak akan mengalami gejolak yang serius dan berkepanjangan
pada fase usia remaja. Hal demikian terjadi karena ia telah mendapatkan status
sosial (status kedewasaan) yang jelas sejak dini.
Adapun
kedewasaan psikologis idealnya dibentuk sejak masa pra-pubertas lewat
pendidikan yang bisa menumbuhkan karakter dan perilaku dewasa pada anak. Oleh
karena itu, perlu diteliti aspek-aspek apa saja yang membedakan antara
anak-anak dan orang dewasa. Kami sendiri berpandangan aspek-aspek dasar yang
membedakan kedua kelompok usia meliputi empat hal, yaitu identitas diri, tujuan
hidup (serta visi), pertimbangan dalam memilih, serta tanggung jawab.[44] Pendidikan remaja perlu memperhatikan tumbuh sehatnya keempat aspek ini dan
memulainya sejak anak belum lagi menginjak usia remaja. Berikut ini akan
dibahas keempat aspek tersebut satu demi satu.[45]
1. Identitas diri.
Anak-anak
pra-pubertas biasanya belum berpikir tentang identitas atau jati dirinya,
karena mereka belum memiliki kemandirian, termasuk dalam persoalan identitas. Anak-anak
mengidentifikasi dirinya dengan orang tuanya. Mungkin bisa dianggap bahwa
identitas anak-anak pra-pubertas sama dengan identitas orang tuanya. Namun,
ketika anak memasuki fase kedewasaan biologis (baligh/ puber), ia mulai
merasakan adanya tuntutan untuk mandiri, termasuk dalam persoalan identitas. Apa
yang sebelumnya belum terlintas di dalam pikiran, kini mulai menjadi hal yang
serius. Pertanyaan seperti ”siapa saya sebenarnya?” dan ”apa tujuan hidup
saya?” mulai menuntut jawaban-jawaban yang mandiri.
Pada
titik ini, idealnya remaja sudah siap untuk menjadi mandiri dan dewasa. Seorang
yang memiliki karakter dewasa tidak merasa bingung dengan identitas dirinya. Ia
mengetahui dengan baik siapa dirinya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Identitas
pada diri orang dewasa tadi menjadi kokoh seiring dengan terbentuknya
nilai-nilai (values) serta prinsip-prinsip yang mendukung.
Dalam
kaitannya dengan identitas, seseorang biasanya akan mengaitkan dirinya dengan
salah satu dari hal berikut: agama atau ideologi, suku atau bangsa, serta
profesi. Seorang santri misalnya, ia akan cenderung menyatakan ”Saya adalah
seorang Muslim” saat ditanya tentang siapa dirinya. Adapun oang yang hidup
dalam komunitas kesukuan yang kental akan lebih mengaitkan identitas dirinya
dengan sukunya. Seseorang bisa saja memiliki lebih dari satu identitas pada
saat yang bersamaan – misalnya sebagai Muslim, sebagai orang Jawa, dan sebagai
pengusaha sekaligus – tetapi biasanya ada satu identitas yang lebih bersifat
dominan dan menjadi identitas utama.
Suatu
identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values) serta prinsip yang
mendukungnya, sebab kalau tidak demikian, maka identitas tersebut hanya akan
bersifat artifisial dan tidak konsisten. Sebagai contoh, misalnya seorang
menyatakan bahwa identitas utamanya adalah Muslim, tetapi ia tidak memahami
nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam serta banyak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan agamanya. Oleh karena itu, membangun identitas diri pada
anak harus dilakukan dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang
menopang tegaknya identitas tersebut.
Anak-anak
perlu dibangun identitasnya sejak kecil, baik di rumah maupun di sekolah,
sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka sudah memiliki identitas
diri yang kokoh dan tak lagi mudah terombang-ambing dalam hidup. Psikologi
Islam tentu merekomendasikan agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap
orang. Dan karena itu, nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan
dan ditanamkan secara bertahap pada anak. Jika proses penenaman dan pewarisan
nilai ini berjalan dengan baik, maka anak tidak akan lagi mengalami krisis
identitas saat memasuki usia belasan tahun.
2. Tujuan dan Visi dalam Hidup
Adanya
tujuan dan visi dalam hidup juga sangat membantu terbentuknya identitas diri
dan kedewasaan pada diri seseorang. Anak-anak pra-pubertas biasanya belum
berpikir tentang tujuan dan visi hidup. Mereka masih bergantung pada tujuan dan
rencana-rencana orang tuanya. Orang yang memiliki karakter dewasa mengetahui
dengan baik apa-apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya, walaupun tidak semua
orang yang berusia dewasa dapat dipastikan memiliki ciri-ciri ini. Tujuan dan
visi juga terkait erat dengan identitas diri. Jika seseorang menjadikan agama
sebagai identitas, maka cita-cita hidupnya juga tentu akan merujuk pada
nilai-nilai agama. Jika ia menjadikan profesi dan pekerjaan sebagai identitas,
maka cita-cita hidupnya juga tentu merujuk pada profesi dan pekerjaannya.
Dalam
konteks pendidikan kedewasaan remaja, idealnya seseorang telah diorientasikan
untuk berpikir tentang tujuan dan cita-citanya sejak ia masih anak-anak dan
belum memasuki masa puber. Bila tujuan hidup serta visi yang tinggi ditanamkan
kepada anak secara terus menerus, maka pada saat anak sudah mulai harus
mandiri, yaitu pada masa baligh, ia akan memiliki arah hidup yang jelas. Ia tak
lagi merasa bingung dengan apa yang sesungguhnya menjadi keinginannya,
sebagaimana yang seringkali dialami oleh remaja-remaja modern.
Pihak
orang tua maupun guru di sekolah tidak boleh meremehkan cita-cita seorang anak
yang sangat tinggi dan tampak mustahil. Mereka justru harus memandangnya secara
positif dan mendorongnya, sambil mengarahkan anak pada langkah-langkah yang
harus dipenuhi untuk mencapai cita-cita tadi – tentunya sesuai dengan kapasitas
berpikir dan bertindak mereka. Dengan demikian, sejak awal anak-anak dan remaja
akan disibukkan dengan tujuan dan cita-cita mereka, sehingga tak lagi memiliki
banyak kesempatan untuk membuang-buang waktu mereka tanpa adanya tujuan yang
jelas.
3.
Pertimbangan dalam Memilih
Al-Qur’an
mengajarkan bahwa ada dua dasar pertimbangan dalam memilih, yaitu berdasarkan
suka-tak suka atau berdasarkan baik-buruk. Al-Qur’an, serta akal sehat kita, mengajarkan
bahwa pertimbangan baik-buruk lebih baik daripada pertimbangan berdasarkan
suka-tak suka. ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu dan
boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216).
Anak-anak
cenderung memilih sesuatu berdasarkan pertimbangan suka-tak suka. Bila ia
menyukai sesuatu, maka ia akan menginginkan dan berusaha untuk mendapatkannya. Bila
ia tak menyukainya, maka ia akan berusaha menolaknya walaupun sesuatu itu
mungkin baik untuknya. Orang yang memiliki karakter dewasa memilih dengan dasar
pertimbangan yang berbeda. Mereka menimbang sesuatu berdasarkan baik buruknya.
Walaupun ia cenderung pada sesuatu, ia akan mengindarinya sekiranya itu buruk
bagi dirinya. Tentu saja ini merupakan sebuah gambaran yang ideal. Pada
realitanya, banyak juga dijumpai orang-orang yang berusia dewasa tetapi
melakukan hal-hal yang buruk hanya karena mereka menyukai hal-hal tersebut.
Pendidikan
yang baik seharusnya mampu mengarahkan anak setahap demi setahap untuk mengubah
dasar pertimbangannya dari suka-tak suka menjadi baik-buruk. Dalam hal ini,
komunikasi dengan anak memainkan peranan yang sangat vital. Kepada anak-anak
perlu dijelaskan alasan baik-buruknya mengapa sesuatu tidak boleh dilakukan
atau mengapa sesuatu harus dilakukan. Dengan demikian mereka memahami alasan
baik-buruk di balik boleh atau tidaknya suatu pilihan.
Kepada
mereka juga perlu dijelaskan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ada. Biarkan
anak melihat pilihan yang mereka miliki, yang baik serta yang buruk, berikut
resiko yang ada di baliknya. Ajak anak untuk menetapkan sendiri pilihannya,
bukannya memaksakan pilihan-pilihan yang kita buat, dengan demikian ia akan
menjadi lebih bertanggung jawab dengan pilihan-pilihan yang diambilnya itu. Semua
proses ini akan membantu kematangan berpikir anak dan menjadikannya lebih
bertanggung jawab. Setiap kali ia hendak menentukan pilihan, ia sudah terlatih
dengan kebiasaan berpikir yang berorientasi pada pertimbangan baik-buruk. Dengan
demikian, ketika ia menginjak usia belasan tahun, ia sudah bisa mengambil
keputusan-keputusan yang positif secara mandiri. Ia tidak akan mudah
terombang-ambing dengan ajakan-ajakan orang lain yang tidak menguntungkan bagi
kepentingan jangka panjangnya dan juga tidak akan menentukan pilihan-pilihan
secara asal dan tak bertanggung jawab.
4. Tanggung Jawab
Setiap
orang melewati beberapa fase tanggung jawab dalam perjalanan hidupnya. Ketika
masih anak-anak dan belum memiliki kemampuan untuk mengemban tanggung jawab,
maka orang tuanyalah yang memikul tanggung jawab untuknya, sampai ia mampu
memikulnya sendiri. Fase ini bisa disebut sebagai fase pra-tanggung jawab.
Ketika anak beranjak dewasa, kemampuannya dalam memikul tanggung jawab juga
meningkat. Pada saat itu, sebagian dari tanggung jawab, yaitu tanggung jawab
yang sudah mulai bisa dipikulnya, bisa didelegasikan oleh orang tua kepada
anak. Fase ini bisa disebut fase tanggung jawab parsial.
Ketika
seseorang sudah hidup mandiri sepenuhnya, dalam arti ia sudah menikah dan
bermatapencaharian, maka ia memasuki fase tanggung jawab penuh. Tanggung jawab
sudah didelegasikan kepadanya secara penuh. Akhirnya, seseorang bisa memperluas
tanggung jawabnya sesuai dengan kapasitas dirinya. Ia bisa menjadi pemimpin di
lingkungan keluarga besarnya, di lingkungan masyarakatnya, bahkan di tingkat
nasional atau internasional. Fase ini bisa disebut sebagai fase perluasan
tanggung jawab (lihat Bagan 3).
Setiap
orang tentu tidak melompat dari fase tanggung jawab yang satu ke fase
berikutnya secara mendadak. Karenanya, sebelum memasuki fase yang lebih tinggi,
ia perlu dipersiapkan dengan latihan-latihan tanggung jawab tertentu. Anak
perlu ditumbuhkan kepekaan tanggung jawabnya (sense of responsibility),
bukan dibebani secara terus menerus dengan bentuk-bentuk tanggung jawab (forms
of responsibility). Sekiranya pada diri anak terbangun rasa memiliki
tanggung jawab serta rasa bangga dalam mengemban tanggung jawab, maka ia akan
lebih mudah menerima berbagai bentuk tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya.
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, anak perlu diberi latihan-latihan tanggung jawab
yang sesuai dengan kapasitasnya, serta diarahkan untuk merasa senang dengan
pemenuhan tanggung jawab itu. Anak-anak yang tumbuh tanpa pembiasaan tanggung
jawab semacam ini akan cenderung merasa berat dan memberontak pada saat ia
harus menerima apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memiliki kapasitas untuk
mengemban tanggung jawab tertentu, tetapi malah bersikap tidak dewasa dengan
membenci dan menolak tanggung jawab itu atas dirinya. Semua itu terjadi karena
ia tidak pernah dididik dan dipersiapkan untuk mengemban tanggung jawab yang
lebih besar. Maka dari itu, pendidikan remaja dalam konteks Psikologi Islam
perlu membangun kedewasaan anak dengan cara menumbuhkan rasa tanggung jawab (sense
of responsibility) serta memberikan latihan-latihan tanggung jawab sejak
dini.
Agar
anak tidak terbebani dengan proses percepatan kedewasaan psikologis dan sosial,
bentuk-bentuk tanggung jawab yang telah diberikan secara berlebihan pada
kebanyakan anak modern juga perlu dikurangi. Anak-anak perlu diberi kesempatan
yang cukup untuk bermain secara sehat hingga ia berusia tujuh tahun. Dengan
demikian, proses pertumbuhan mereka akan berlangsung dengan baik dan sehat,
sehingga terjadinya gejolak yang berlebihan di masa remaja akan dapat
dihindari.
Kesimpulan
Sebagaimana
telah dijelaskan, berbagai problem serta gejolak masa remaja yang terjadi pada
hari ini muncul karena adanya kesenjangan yang serius antara kedewasaan
biologis dan kedewasaan psikologis serta sosial pada diri anak. Kesenjangan ini
tidak terjadi pada masyarakat primitif serta pada masyarakat masa lalu. Ia
terjadi pada remaja-remaja modern karena masyarakat telah memundurkan jadwal
kedewasaan psikologis dan sosial dari jadwal kedewasaan biologis anak. Semua
ini bertentangan dengan proses alamiah dari pertumbuhan tiap manusia.
Tugas
pendidikan dan Psikologi Islam adalah memastikan bahwa pertumbuhan manusia
berjalan sesuai dengan fitrahnya serta memastikan terbentuknya manusia yang
utuh dan paripurna (al-insan al-kamil). Hal ini tidak mungkin terjadi
kecuali jika kesenjangan yang telah disebutkan tadi bisa dihapuskan. Oleh
karena itu, proses kedewasaan psikologis dan sosial anak perlu dibentuk sejak
dini, sehingga ketika anak memasuki tahap kedewasaan biologis, ia sudah siap
untuk memiliki dua aspek kedewasaan lainnya.
Kedewasaan
sosial bisa diraih anak dengan adanya penerimaan sosial dari lingkungannya
terhadap anak sebagai orang dewasa yang setara dengan orang dewasa lainnya. Jika
anak disikapi dan diperlakukan secara dewasa, maka ia akan lebih cepat menjadi
dewasa. Adapun kedewasaan psikologis bisa diraih anak lewat proses pendidikan
dan pelatihan yang memperhatikan empat aspek, yaitu identitas diri, tujuan
hidup, pertimbangan dalam memilih, serta tanggung jawab.
Pembentukan
kedewasaan psikologis dan sosial perlu menjadi perhatian serius dalam proses
pendidikan anak menuju fase usia belasan tahun. Baik orang tua maupun guru di
sekolah perlu memperhatikan ketimpangan yang selama ini terjadi pada remaja dan
merealisasikan solusinya dengan memperhatikan hal-hal yang telah diterangkan di
atas. Dengan demikian, pada saat memasuki masa baligh, anak sudah siap untuk
memasuki fase dewasa awal dalam tahap pertumbuhannya, dan bukannya menjadi
remaja yang penuh gejolak (turbulence) seperti yang kita saksikan pada
hari ini.
Akhirnya,
semua hal di atas bisa diimplementasikan dengan baik tanpa perlu membuat kebudayaan
surut kembali ke belakang ke masa-masa primitif. Dengan begitu kesehatan
pertumbuhan manusia serta kemajuan masyarakat bisa berjalan beriringan, tanpa
perlu salah satunya mengorbankan pihak yang lain.
Daftar Pustaka
Buku
Alatas, Alwi. 2004. Remaja Gaul Nggak
Mesti Ngawur. Jakarta: Hikmah.
Alatas, Alwi. 2005. (Untuk) 13+, Remaja
Juga Bisa Bahagia, Sukses, Mandiri. Jakarta: Pena.
Ashraf, Dr. Ali.
1993. Horison Baru Pendidikan Islam. Pustaka Firdaus.
Daud, Wan Mohd Noor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam. Bandung:
Mizan.
Hilgard,
Ernest R., Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson. 1979. Introduction
to
Psychology. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Kroger, Jane. 1989. Identity in
Adolescence: The Balance between Self and Other.
London & New York, Routledge.
London & New York, Routledge.
Mandela, Nelson. 1995. Perjalanan
Panjang Menuju Kebebasan: Otobiografi Nelson
Mandela. Jakarta: Binarupa Aksara.
Al-Qur’an al-Karim.
El-Quussy,
Prof. Dr. Abdul ‘Aziz. 1975. Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/ Mental, jilid. II.
Jakarta: Bulan Bintang.
Sarwono, Dr. Sarlito Wirawan. 1981. Pergeseran
Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja:
Sebuah
Penelitian Terhadap Remaja Jakarta. Jakarta: CV Rajawali.
Sarwono, Sarlito
Wirawan. 2001. Psikologi Remaja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Sulaiman, Prof. Fathiyah Hasan. Konsep Pendidikan Al-Ghazali. P3M.
Tanner,
James M. dan Gordon Rettray Taylor. 1975. Pustaka Ilmu LIFE:
Pertumbuhan,.Jakarta:
Tira Pustaka.
Thalib, Drs. M. 1995. Memahami 20 Sifat
Fitrah Anak. Bandung: Irsyad Baitus Salam.
White,
Kathleen M. dan Joseph C. Speisman. 1989. Remaja. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan
Malaysia.
Artikel
Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma
Kemodernan dan Turats Islam,” dalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar