Jumat, 21 Desember 2012

KEDUDUKAN KURIKULUM DAN GURU DALAM PENDIDIKAN



KEDUDUKAN KURIKULUM DAN GURU DALAM PENDIDIKAN
(Sugiono, M. Pd Guru SMP Negeri 143 Jakarta Utara)

Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat. Dalam kehidupan keluarga interaksi pendidikan dapat terjadi setiap saat, setiap kali orang tua bertemu, berdialog, bergaul dan bekerja sama dengan anak-anaknya.
Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Pendidikan formal memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan informal dalam lingkungan keluarga. Pertama, pendidikan formal disekolah memiliki lingkup isi pendidikan yang lebih luas, bukan hanya berkenaan dengan pembinaan segi-segi moral tetapi ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Kedua, pendidikan di sekolah dapat memberikan pengalaman yang lebih tinggi, lebih luas dan mendalam. Ketiga, memiliki rancangan atau kurikulum secara formal dan tertulis, pendidikan disekolah dilaksanakan secara terencana, sistematis, dan lebih disadari.
Sebagai program pendidikan yang lebih direncanakan secara sistematis, kurikulum mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan siswa. Apabila dianalisis sifat dari masyarakat dan kebudayaan dengan sekolah sebagai institusi sosial dalam melaksanakan operasinya maka dapat ditentukan paling tidak tiga peranan kurikulum yang sangat penting, yakni peranan konservatif; salah satu tanggungjawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial pada generasi muda. Dengan demikian sekolah sebagai suatu lembaga sosial dapat mempengaruhi dan membina tingkah laku siswa sesuai dengan nilai sosial yang ada dalam masyarakat sejalan dengan peranan pendidikan sebagai proses sosial. peranan kritis atau evaluative; dalam hal ini kurikulum aktif berpartisipasi dalam kontrol sosial dan memberikan penekanan pada berpikir kritis. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dimasa mendatang dihilangkan serta diadakan modifikasi dan perbaikan. dan peranan kreatif; kurikulum berperan melakukan berbagai kreatif dan konstruktif dalam artian menciptakan dan menyusun suatu hal yang baru dengan kebutuhan masyarakat dimasa sekarang dan masa mendatang.


 Untuk lebih jelasnya, tentang kedudukan kurikulum dalam pendidikan dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
 
 

 Perlu dicatat, meski memiliki kedudukan sentral dalam pendidikan, keberadaan kurikulum tetap saja hanya sebagai alat (instrumental) yang bersifat statis. Kurikulum akan bermakna ketika benar-benar dapat terimplementasikan dengan baik dan tepat dalam setiap praktik pembelajaran (Kurikulum sebagai kegiatan) serta dapat berjalan efektif dan efisien (Kurikulum sebagai hasil).
Orientasi Kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35: kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.
Oleh karena itu, memasuki era  Kurikulum 2013,  harus bisa memastikan bahwa setiap guru dapat termotivasi dan terlatih untuk mampu menjalankan Kurikulum 2013 ini. Jika tidak dilakukan pembenahan dari sisi ini, maka ide-ide yang tertuang dalam kurikulum 2013 tetap saja hanya akan menjadi sekumpulan ide atau dokumen yang sama sekali tak berguna.
Jika diibaratkan membuat suatu makanan, guru adalah Koki, -sang pembuat makanan-, dan kurikulum adalah kumpulan resep makanan yang dijadikan pegangan bagi sang Koki untuk membuat suatu makanan, di dalamnya memuat bahan dan cara untuk membuat makanan.
Untuk menghasilkan makanan yang baik tentu tidak cukup mengandalkan pada resep yang ada, tetapi justru yang paling penting adalah bagaimana memproses bahan-bahan yang ada, dengan alat yang ada agar menjadi suatu makanan yang lezat dan menarik. Semua ini akan sangat ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan sang Koki dalam mengolah makanan sedemikian rupa. Sehebat apapun resep makanan yang dibuat, tidak akan banyak berarti manakala sang Koki tidak memiliki kemampuan untuk menterjemahkan resep secara tepat ke dalam praktik nyata proses pengolahan makanan.
Saya lebih meyakini bahwa seorang Koki yang hebat dan profesional (tersertifikasi)  akan lebih mampu  menghasilkan makanan-makanan yang bernilai dan bercita rasa tinggi, sekalipun makanan itu terbuat dari bahan yang seadanya dan dengan menggunakan alat yang seadanya pula.  Sebaliknya, di tangan Koki yang amatiran, walau disediakan bahan dan alat yang mewah tampaknya hanya akan menghasilkan kemubaziran,  misalnya: tampilan makanan yang kurang mengundang selera, masih mentah, gosong atau tidak jelas rasanya.
Meski tidak sepenuhnya persis dan identik, analogi ini barangkali bisa menggambarkan tentang sebuah proses pendidikan. Berkaitan dengan perubahan Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013, apakah karena kita sedang berhadapan dengan buku resepnya yang keliru sehingga sulit dipahami dan dijadikan pedoman bagi sang Koki ataukah justru kita sedang menghadapi persoalan dengan kemampuan sang Koki dalam mengolah makanan?
Sejauh ini saya lebih melihatnya pada pilihan kedua dan inilah persoalan yang kerap terjadi dalam setiap pergantian kurikulum. Hingga di akhir ujung hayatnya Kurikulum 2006, saya melihat masih ada sebagian  teman-teman di pelosok negeri ini yang sama sekali belum tersentuh dengan makhluk yang bernama Kurikulum 2006. Bagi mereka Kurikulum 2006  tak ubahnya seperti makhluk gaib. Kenapa bisa demikian? Salah satunya adalah kurangnya mendapatkan akses untuk meng-upgrade pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2006.
Mendidik tentu sangat berbeda dengan mengolah makanan. Mendidik memang  jauh lebih rumit karena melibatkan faktor manusia dengan segala keunikan dan karakteristiknya yang sangat kompleks. Meski sulit, pendidikan harus tetap dilakukan dan kita semua tidak menginginkan makanan  yang gosong atau tidak matang sehingga harus berujung di tong sampah.  Oleh karena itu, untuk menghindari kemubaziran, bagi guru tampaknya  hanya tersedia dua pilihan: Jadilah guru profesional atau tidak sama sekali! Apapun wujud kurikulumnya,  tetaplah berdedikasi pada profesi dengan mencurahkan segenap potensi terbaik yang dimiliki, demi  pendidikan yang lebih baik, demi putera-puteri didik kita, agar kelak mereka dapat memiliki kehidupan yang lebih baik.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: “Siapa yang paling bertanggung jawab untuk mewujudkan guru profesional itu?” Jawabannya saya serahkan kepada Anda untuk mengelaborasinya lebih lanjut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar