(Sugiono, M. Pd Guru SMP Negeri 143
Jakarta Utara)
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan
peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan
pendidikan. Interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga,
sekolah ataupun masyarakat. Dalam kehidupan keluarga interaksi pendidikan dapat
terjadi setiap saat, setiap kali orang tua bertemu, berdialog, bergaul dan
bekerja sama dengan anak-anaknya.
Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Pendidikan
formal memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan informal
dalam lingkungan keluarga. Pertama,
pendidikan formal disekolah memiliki lingkup isi pendidikan yang lebih luas,
bukan hanya berkenaan dengan pembinaan segi-segi moral tetapi ilmu pengetahuan
dan ketrampilan. Kedua, pendidikan di
sekolah dapat memberikan pengalaman yang lebih tinggi, lebih luas dan mendalam.
Ketiga, memiliki rancangan atau
kurikulum secara formal dan tertulis, pendidikan disekolah dilaksanakan secara terencana,
sistematis, dan lebih disadari.
Sebagai program pendidikan yang lebih direncanakan secara
sistematis, kurikulum mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan
siswa. Apabila dianalisis sifat dari masyarakat dan kebudayaan dengan sekolah
sebagai institusi sosial dalam melaksanakan operasinya maka dapat ditentukan
paling tidak tiga peranan kurikulum yang sangat penting, yakni peranan konservatif; salah satu
tanggungjawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial pada
generasi muda. Dengan demikian sekolah sebagai suatu lembaga sosial dapat
mempengaruhi dan membina tingkah laku siswa sesuai dengan nilai sosial yang ada
dalam masyarakat sejalan dengan peranan pendidikan sebagai proses sosial. peranan kritis atau evaluative; dalam
hal ini kurikulum aktif berpartisipasi dalam kontrol sosial dan memberikan
penekanan pada berpikir kritis. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi
dengan keadaan dimasa mendatang dihilangkan serta diadakan modifikasi dan
perbaikan. dan peranan kreatif;
kurikulum berperan melakukan berbagai kreatif dan konstruktif dalam artian
menciptakan dan menyusun suatu hal yang baru dengan kebutuhan masyarakat dimasa
sekarang dan masa mendatang.
Untuk lebih jelasnya,
tentang kedudukan kurikulum dalam pendidikan dapat dilihat dalam gambar di
bawah ini.
Perlu dicatat, meski memiliki kedudukan sentral dalam pendidikan, keberadaan kurikulum tetap
saja hanya sebagai alat (instrumental) yang bersifat statis. Kurikulum
akan bermakna ketika benar-benar dapat terimplementasikan dengan baik dan tepat
dalam setiap praktik pembelajaran (Kurikulum
sebagai kegiatan) serta dapat berjalan efektif dan efisien (Kurikulum sebagai hasil).
Orientasi Kurikulum
2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap
(attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Hal ini sejalan
dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal
35: kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah
disepakati. Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi
sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.
Oleh karena itu, memasuki era Kurikulum 2013,
harus bisa memastikan bahwa setiap guru dapat termotivasi dan terlatih
untuk mampu menjalankan Kurikulum 2013 ini. Jika tidak dilakukan pembenahan
dari sisi ini, maka ide-ide yang tertuang dalam kurikulum 2013 tetap saja hanya
akan menjadi sekumpulan ide atau dokumen yang sama sekali tak berguna.
Jika diibaratkan membuat suatu makanan, guru adalah Koki,
-sang pembuat makanan-, dan kurikulum adalah kumpulan resep makanan yang
dijadikan pegangan bagi sang Koki untuk membuat suatu makanan, di dalamnya
memuat bahan dan cara untuk membuat makanan.
Untuk menghasilkan makanan yang baik tentu tidak cukup
mengandalkan pada resep yang ada, tetapi justru yang paling penting adalah
bagaimana memproses bahan-bahan yang ada, dengan alat yang ada agar menjadi
suatu makanan yang lezat dan menarik. Semua ini akan sangat ditentukan oleh
pengetahuan dan keterampilan sang Koki dalam mengolah makanan sedemikian rupa.
Sehebat apapun resep makanan yang dibuat, tidak akan banyak berarti manakala
sang Koki tidak memiliki kemampuan untuk menterjemahkan resep secara tepat ke
dalam praktik nyata proses pengolahan makanan.
Saya lebih meyakini bahwa seorang Koki yang hebat dan
profesional (tersertifikasi) akan lebih mampu menghasilkan
makanan-makanan yang bernilai dan bercita rasa tinggi, sekalipun makanan itu
terbuat dari bahan yang seadanya dan dengan menggunakan alat yang seadanya
pula. Sebaliknya, di tangan Koki yang amatiran, walau disediakan bahan
dan alat yang mewah tampaknya hanya akan menghasilkan kemubaziran,
misalnya: tampilan makanan yang kurang mengundang selera, masih mentah, gosong
atau tidak jelas rasanya.
Meski tidak sepenuhnya persis dan identik, analogi ini
barangkali bisa menggambarkan tentang sebuah proses pendidikan. Berkaitan
dengan perubahan Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013, apakah karena kita sedang
berhadapan dengan buku resepnya yang keliru sehingga sulit dipahami dan
dijadikan pedoman bagi sang Koki ataukah justru kita sedang menghadapi
persoalan dengan kemampuan sang Koki dalam mengolah makanan?
Sejauh ini saya lebih melihatnya pada pilihan kedua dan
inilah persoalan yang kerap terjadi dalam setiap pergantian kurikulum. Hingga
di akhir ujung hayatnya Kurikulum 2006, saya melihat masih ada sebagian
teman-teman di pelosok negeri ini yang sama sekali belum tersentuh dengan
makhluk yang bernama Kurikulum 2006. Bagi mereka Kurikulum 2006 tak
ubahnya seperti makhluk gaib. Kenapa bisa demikian? Salah satunya adalah
kurangnya mendapatkan akses untuk meng-upgrade pengetahuan dan
keterampilan yang sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2006.
Mendidik tentu sangat berbeda dengan mengolah makanan.
Mendidik memang jauh lebih rumit karena melibatkan faktor manusia dengan
segala keunikan dan karakteristiknya yang sangat kompleks. Meski sulit,
pendidikan harus tetap dilakukan dan kita semua tidak menginginkan makanan
yang gosong atau tidak matang sehingga harus berujung di tong sampah.
Oleh karena itu, untuk menghindari kemubaziran, bagi guru tampaknya
hanya tersedia dua pilihan: Jadilah guru profesional atau tidak sama sekali! Apapun wujud kurikulumnya,
tetaplah berdedikasi pada profesi dengan mencurahkan segenap potensi terbaik
yang dimiliki, demi pendidikan yang lebih baik, demi putera-puteri didik
kita, agar kelak mereka dapat memiliki kehidupan yang lebih baik.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: “Siapa yang paling bertanggung jawab untuk
mewujudkan guru profesional itu?” Jawabannya saya serahkan kepada Anda
untuk mengelaborasinya lebih lanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar